Chapter 05.

7.8K 691 13
                                    

Desir angin malam berhembus, sedikit menerbangkan tirai-tirai jendela serta daun yang masih kokoh menempel pada batangnya. Kesunyian dan kesendirian menggambarkan ketenangan hanya untuk sekadar melepas penat dari banyaknya aktivitas di siang hari.

Sepasang suami istri terlihat sedang duduk dengan istri berpangku pada kaki sang suami. Saka masih bingung dengan istrinya ini, ia ingat sejak beberapa hari yang lalu gadis ini terlihat tidak menyukainya, tetapi apa ini? Kenapa dari pagi tadi gadis ini terlihat sangat menempel? Apa mungkin karena keinginan sang bayi yang ingin dekat-dekat dengan ayahnya? Jika memang benar, Saka akan memberikan acungan empat jempol seraya berkata "Hebat, Nak. Teruskan."

"Lily, gimana kalau kita beli TV?" cetus Saka tiba-tiba, memecah kesunyian malam. Ia mengelus kepala sang istri yang sedang bersandar di dadanya.

"Untuk apa?" tanya Saina masih fokus pada ponsel di tangannya.

"Ya untuk nonton, Sayang. Masa masak?" ujar pria itu gemas.

Saina terkekeh pelan, ia mendongak, menatap mata sang suami. "Gak usah, ah. Kan ada ponsel buat nonton, nih lihat!" ia menyodorkan benda pipih ditangannya yang sedang menampilkan tayangan video.

Menghela napas pelan, Saka mencubit kedua pipi Saina yang tampak lebih menggembung dari terakhir kali yang ia ingat. Mungkin karena efek hormon kehamilan sehingga berat badan tubuh wanita itu turut naik. "Kan gak enak nonton begitu."

"Siapa bilang?" tanya Saina dengan nada cekung. "Enak-enak aja kok. Lagian ya, Mas, masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting. Kayak kebutuhan dapur, modal warung, biaya uang kuliah per semester. Sekarang aku tanya, berapa biaya uang semester kamu?"

"Hm, lima belas juta," ucap Saka.

"Tuh, penghasilan warung kita aja cuma empat juta sebulan, berarti kalau mau bayar uang kuliah kamu butuh tabungan kurang lebih selama lima bulan. Udah ya, jangan buang-buang uang untuk yang enggak perlu," omel Saina panjang lebar, tak menyadari air muka Saka yang telah berubah.

Saka merasa tak becus menjadi suami, uang penghasilannya yang kecil membuat mereka serba mengurangi pengeluaran bahkan Saina sendiri sampai harus berhenti kuliah karena penghasilan Saka cuma cukup untuk biaya kuliah satu orang. Sebenarnya, penghasilan Saka sudah termasuk UMR kota tempat mereka menetap, karena di tahun dua ribu sembilan belas ini, UMR yang tercatat adalah tiga juta tiga ratus ribu sekian. Tetapi tetap saja, Saina awalnya adalah anak konglomerat yang terlahir dengan sendok emas, tentu saja kondisi ekonomi saat ini berbeda jauh dengan beberapa waktu lalu sebelum gadis itu menikah dengannya.

"Maaf..." lirih Saka.

"Kenapa minta maaf?" Saina yang semua sudah kembali menatap ponsel, mendongak lagi. Kerutan di hidung dan dahinya menggambarkan jika ia sedang bingung.

"Maaf karena ngasih kehidupan yang gak layak buat kamu," lanjut Saka.

"Gak layak apanya? Emang kamu bikin aku tidur di jembatan?" Saka menggeleng pelan masih dengan wajah sendu. "Emang kamu bikin aku ngais-ngais sampah buat cari makan?" Sekali lagi Saka menggeleng pelan. "Nah, jadi gak usah bilang gitu. Hidup kita ini sudah serba berkecukupan, jangan pula ngeluh seolah-olah kamu gak bersyukur. Pokoknya jangan bahas tentang ini lagi, aku ngerasa kamu udah ngasih yang terbaik untuk aku."

Tidak, Saka sendiri tidak merasa begitu. Ini belum yang terbaik untuk kekasih hatinya. Ia akan bekerja keras untuk membuktikan apa itu terbaik menurut versinya. Tak ayal, rasa haru menyeruak memenuhi hati, mendengar kata-kata penuh pengertian dari wanita yang ia cintai. Ah, rasanya Saka semakin mencintai wanitanya.

"Tidur, yuk?" ajak Saina. Matanya sudah berat, seakan ada sesuatu yang menahan kelopak matanya agar terbuka.

"Ayo." Tanpa aba-aba, Saka menggendong istrinya menuju kamar membuat sang empu sedikit terkejut namun tidak ada tenaga lagi untuk berteriak.

Memasuki kamar mereka, Saka meletakkan Saina di atas kasur kemudian ia berjalan ke arah lemari, mengambil sebuah kasur kapuk yang biasa ia gunakan semenjak seminggu yang lalu setelah ia resmi menikah dengan Saina.

Istrinya tidak menyukai tidur satu kasur dengannya, kecuali jika wanita itu sedang sakit atau keinginan bayinya sendiri seperti tadi malam. Saat akan membentang kasurnya di atas lantai, suara lirih Saina membuat Saka menoleh.

"Tidur sini aja, mulai malam ini sampai seterusnya..." lirih Saina sebelum akhirnya benar-benar menutup matanya.

Sumringah, itulah ekspresi Saka saat ini. Istrinya sendiri meminta ia untuk tidur bersama, bukan hanya malam ini tapi selama-lamanya. Suasana Saka langsung berbunga-bunga, ia membuang asal kasur kapuk tersebut kemudian membaringkan tubuhnya di sebelah sang istri. Perlahan, tangan dan kakinya terangkat, memeluk Saina layaknya guling. Bibir pria itu melengkung tipis, menatap wajah cantik sang istri yang sepertinya telah terlelap.

Saka memejamkan matanya berniat menyusul sang istri, sampai akhirnya mata Saina terbuka sayu. Ia mendekat, mencium singkat bibir sang suami. "Selamat malam, Mas." Setelahnya, Saina kembali terlelap, seolah tak terjadi apa-apa.

Kini, giliran Saka yang kembali membuka mata. Ia mematung mendapat kecupan serta selamat malam dari sang istri. Cukup lama ia memandang wajah cantik itu sebelum akhirnya balas mengecup bibir Saina. "Selamat malam juga, Sayang."

TBC.

Tandain Typo

EnervateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang