06 - Kafe Nawasena

357 79 15
                                    

Kak, ban motor gue diganti kemarin. Uang jajan gue habis buat beli ban baru. Kalau bisa, transferin 200 ribu, Kak, buat jajan seminggu.

Isi pesan dari sang adik, Ganesha, cukup merusak Sabtu pagi Tara. Padahal, hari ini Tara sudah membangun niatan untuk pulang ke rumah—setelah hampir sebulan dia tidak pulang ke rumah dengan alasan lembur, nyatanya tidak—berkumpul bersama keluarganya. Tetapi sepertinya Tara kembali mengurungkan niatannya pulang ke rumahnya yang sebenarnya bisa ditempuh hanya satu setengah jam perjalanan menggunakan KRL. Rumah orangtua Tara di Bogor, sekitar tiga puluh menit perjalanan menggunakan ojek dari Stasiun Bogor.

Tara sudah cukup lelah dengan keluhan-keluhan yang pasti akan didengarnya saat pulang ke rumah. Sang Ibu yang mengeluh akan hobi sang Ayah memancing dan tidak menghasilkan apa-apa. Uang bulanan dari Tara yang habis. Belum lagi Tara harus mendengar bank keliling sang Ibu yang benar-benar akan merusak harinya.

Bukan berarti Tara tidak merindukan dan tidak mau berkumpul dengan keluarganya, tapi saat ini Tara sedang tidak dalam perasaan baik untuk menghadapi semua permasalahan keluarganya itu.

Pesan dari Ganesha diabaikan terlebih dahulu, ujung-ujungnya nanti Ganesha akan mengirimkan lebih banyak pesan, bernegosiasi dengan Tara mengenai nilai yang akan ditransfer dan setelahnya tidak akan mengirim pesan lagi setelah Tara benar-benar mengirimkan uang itu. Sungguh, padahal Tara belum pulang selama hampir sebulan, tapi sang Adik tidak ada basa-basi sama sekali menanyakan kabar sang Kakak. Malah menambah beban sang Kakak.

Ganesha sudah berusia dua puluh tahun dan memang benar apa yang dikatakan para psikolog: pria lebih lamban untuk dewasa ketimbang wanita. Hal itu terbukti dari Ganesha yang sudah berusia dua puluh tahun dan masih mengandalkan uang dari Tara, sementara dulu saat Tara berusia dua puluh tahun, Tara tidak meminta uang orangtuanya dan sibuk menghasilkan uang dengan mengajar les privat murid-murid Sekolah Menengah Atas.

Terkadang, rasanya seperti Tara hendak terbang ke tingkatan lebih tinggi, namun kakinya tertahan oleh keluarganya sendiri, sehingga gerakannya terhambat atau bahkan berhenti.

Akhir pekan tanpa pulang ke rumah biasanya Tara isi dengan membaca buku di sebuah kafe yang terletak tak terlalu jauh dari kosnya. Hari ini, sepertinya Tara akan kembali ke kafe itu, membaca buku Laut Bercerita—yang sudah sekian kali dibacanya—ditemani dengan secangkir Iced Coffee Latte gratis hasil penukeran kupon dengan stempel yang sudah penuh. Menandakan Tara sebagai pelanggan setia kafe tersebut.

Gadis berambut panjang itu mandi dengan cepat. Setelahnya, dia mengenakan kaos putih polos dibalut jaket dan celana jeans. Tara juga sedikit memoles riasan sebelum meraih novel Laut Bercerita, memasukan ke dalam totebag yang akan dibawanya. Tara pergi ke kafe menggunakan layanan ojek daring.

Sesampainya di kafe itu, Tara melangkah masuk dan ikut antrian pesanan bersama pelanggan lain. Ada tiga antrian di depan Tara, dua di antaranya adalah pasangan yang tiba-tiba membuat Tara menghela napas pasrah. Belum pernah sekali pun Tara pergi berkencan ke kafe bersama seorang pria. Pasti menyenangkan duduk berhadapan, saling mencoba makanan dan minuman pilihan masing-masing dan bertukar cerita di kafe yang luas dan tidak terlalu padat pelanggan ini.

Giliran Tara tiba, pelayan kafe yang seorang gadis mengenakan celemek hitam berlogo kafe di dada kirinya dengan wajah jutek minim senyum—pekerja ini asing di mata Tara, bukan yang biasa melayani dengan ramah—menyapa tidak ramah.

Tara mengeluarkan kartu reward satu cangkir Coffee Latte gratisnya, yang telah dibubuhi cap kafe pada sepuluh lingkaran yang telah disediakan. "Mbak, saya mau tukar kartu ini."

Si pelayan meraih kartu, menatapnya sesaat sebelum mengetik sesuatu dan tanpa menatap Tara berkata, "Harus tetap pesan makan ya, Mbak. Gak bisa duduk di sini cuma dengan kopi hasil reward."

His GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang