Air mata Tara kering, tertiup angin tatkala perjalanan panjang dari rumah menuju ke Stasiun Bogor, kemudian ditambah menikmati perjalanan di KRL yang sepi dengan pendingin yang bekerja baik. Tiba di Stasiun Sudirman, Tara tidak langsung memesan ojek untuk mengantarnya ke kos, namun gadis itu berjalan kaki sejauh hampir satu kilo meter menuju ke Kafe Nawasena langganannya.
Tara tiba di kafe itu tepat pukul satu siang, bersamaan dengan beberapa pelanggan yang menyelesaikan makan siang mereka dan beranjak kembali ke kantor mereka masing-masing. Tara melangkah menuju kasir dan tersenyum kepada Cindi yang menyapanya hangat.
"Selamat siang, Mbak Tara. Tumben banget hari kerja, siang ke sininya."
Tara mengangguk kecil. "Lagi gak kerja, izin." Gadis itu membuka-buka buku menu yang ada di depan meja kasir, melihat-lihat menu makan siang yang ada di sana sebelum berkata, "Aku mau pesan satu porsi nasi goreng kecombrang, ya? Minumnya Iced Coffee Latte biasa aja."
Cindi mengangguk dan tersenyum tipis. "Menu makan siang kesukaan mas Abi itu, Mbak. Mau gak pedas, sedang atau pedas?"
Tara mengerjap, "Mau pedas, deh."
"Mau duduk di meja lima belas lagi?"
Tara mengangguk.
"Baik, mohon ditunggu di mejanya ya, Mbak. Terima kasih."
Gadis yang hari ini hanya mengenakan kaus putih dan jeans, terlihat lusuh dengan riasan yang sudah pudar, duduk di meja nomor lima belas, tempatnya biasa duduk. Tara duduk di sana, bertopang dagu dengan pikiran yang entah ke mana, hingga perhatiannya teralihkan pada pemandangan di luar kafe dari kaca sisi kanan tempatnya duduk.
Sebuah mobil berwarna abu-abu metalik berhenti di dekat kaca itu dan Tata sontak mengalihkan wajahnya saat menyadari siapa yang berada di balik kursi kemudi mobil itu. Tara memejamkan mata dan menunggu hingga si pengemudi ke luar, lalu mengalihkan wajahnya kembali menuju mobil yang sudah terparkir dengan pengemudi yang sudah ke luar.
Jantung Tara berdegup tak karuan, diam-diam dia berdoa kepada Tuhan supaya pemuda itu tidak mengenali atau menghampirinya, tapi sepertinya Tuhan tidak sedang berbaik hati dengan Tara karena beberapa saat kemudian, suara berat itu terdengar di dekatnya.
"Hai, apa kabar?"
Tara mengumpat dalam hati, namun berusaha untuk terlihat normal. Gadis itu perlahan menoleh dan menahan napas saat tanpa meminta izin, seorang Abiseva Putra Nawasena menarik kursi di hadapan Tara dan duduk di sana.
"Kenapa gak ngantor?" Putra melanjutkan pertanyaannya, yang belum dijawab oleh Tara.
Tara menatap Putra sekilas sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke luar kaca sisi kanannya. Tara bahkan mempertanyakan, kenapa dia selalu bertemu dengan Putra di kondisi yang tidak baik? Lihat saja kondisinya saat ini.
Menyadari perilaku Tara, Putra menghela napas dan kemudian bangkit berdiri, "Maaf ganggu, ya. Kamu bisa duduk tenang di sini, tanpa gangguan."
Sontak, Tara menoleh dan baru sesaat pemuda itu hendak melangkah, entah setan apa yang merasuki Tara untuk menahan dengan berujar, "Gak apa-apa, kamu duduk dan makan di sini aja."
Putra mengernyitkan dahi, "Benar gak apa-apa?"
Tara mengangguk cepat dan pemuda itu kembali duduk di kursinya, dengan pandangan Tara yang kini tidak lagi menatap ke kaca sisi kanan. Mata mereka bertemu, tanpa satu kata pun yang ke luar dari mulut masing-masing, hingga Cindi datang membawakan pesanan mereka.
"Dua porsi nasi goreng kecombrang pedas—,"
"Dua?" Putra bertanya bingung, mewakili Tara yang juga bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
His G
RomantizmBagaimana rasanya memimpikan seseorang yang bahkan tidak pernah kau kenali sebelumnya, lalu seperti ke luar dari mimpi, orang itu hadir dalam hidupmu dengan banyaknya kebetulan-kebetulan tidak masuk akal?