10 - Lembur

326 68 6
                                    

Informasi mengenai rapat koordinasi dengan Citratama kemarin yang tidak dihadiri oleh sang bintang alias Abiseva Putra Nawasena, terdengar di telinga Gistara Asha Nameera yang sudah sejak pagi berada di ruangan, menyelesaikan pekerjaannya yang kemarin tidak dikerjakan.

Informasi itu cukup menyejutkan untuk Tara karena siang kemarin, saat bertemu dengan Putra, jelas-jelas pria itu mengetahui Tara yang tidak pergi ke kantor. Tara kira, dia tahu karena dia tidak bertemu Tara di kantor. Nyatanya, tidak seperti itu.

"Kok, bisa dia gak datang?" Tara berusaha bermain peran, menanggapi keluhan Desi yang memang kemarin sengaja Tara tugaskan untuk mewakili—atas permintaan gadis itu juga, sih.

Desi menghela napas. "Katanya, ada rapat di kantor mereka. Jadi Mas Putra itu diwakili sama Pak Beno."

Ayu yang sedari tadi mendengarkan keluhan Desi mulai berbicara, "Itulah akibatnya kalau ikut rapat bukan niat kerja, tapi genit sama klien. Lagian, lo aja gak tau dia udah nikah atau belum, gak usah keganjenan, Des."

Desi memicingkan mata menatap Ayu. "Belum nikah, kok, Mbak Ayu! Kata Pak Beni gitu. Jadi, gak apa-apa banget kalau kita berusaha buat dekat."

"Belum nikah bukan berarti belum punya pasangan! Siapa tahu dia udah punya pacar yang jauh lebih baik dari pada lo? Dia ke kantor ini ya cuma profesional kerja. Gak lebih. Udah, lah. Kerja bener aja, gak usah cinta-cintaan di kantor!"

"Gak usah tahu, Mbak Ayu! Orang lajang, kok, kata Pak Beno!"

"Pak Beno gak bakal terang-terangan ngasih tahu orang asing status hubungan rekan kerjanya, Des! Jaman sekarang, cowok tuh susah dipercaya. Apalagi tampilan seganteng Mas Putra itu. Gue yakin, entah dia player atau dia gay. Gak usahlah sama cowo gitu. Makan hati lo yang ada."

Sindiran Ayu yang ditujukan kepada Desi, nyatanya lebih mengena pada Tara yang mendadak membeku, diam memikirkan itu semua.

Ayu tidak salah, pendapatnya tidak salah. Wanita berusia tiga puluh dua tahun itu jelas memiliki sepak terjang percintaan yang paling banyak, ketimbang wanita lain di Divisi Bisnis. Ayu baru menikah dengan lelaki pilihannya dua tahun lalu, Eddy namanya. Sebelumnya, Tara sudah bosan mendengar keluhan wanita itu akan mantan-mantan terdahulunya. Ayu memang memiliki sex appeal yang bagus, dengan bentuk tubuh hourglass idaman para pria. Nyatanya, itu tidak membuatnya dengan mudah menemukan lelaki pilihannya. Butuh banyak pengalaman percintaan dengan laki-laki lain sebelum Ayu menjatuhkan pilihan pada Eddy, si guru Sekolah Menengah Pertama mata pelajaran matematika. Siapa pun yang melihat Ayu saat ini pasti akan sangat terkejut suaminya. Seperti bertolak belakangan, walau nyatanya saling melengkapi.

Pengalaman percintaan Ayu jelas membuat Tara sedikit iri. Tara cantik, dia memiliki wajah manis yang tidak membosankan untuk dipandang, namun terkadang Tara merasa dia tidak memiliki sex appeal seperti Ayu. Tara merasa, tubuhnya rata, sama sekali tidak menarik. Caranya berpakaian juga sembrono, tidak memiliki karakteristik style yang jelas. Ditambah, Tara hanya mengenakan riasan wajah seadanya, tidak pula memiliki waktu untuk membuat gaya di rambutnya.

Jika Tara seorang pria, Tara tidak akan menyukai fisik Tara sendiri.

Di kantor memang banyak yang mengaku menyukai Tara, tapi Tara yakin, suka yang dimaksud pasti hanya ledekan karena Tara salah satu pegawai dengan jabatan yang berstatus belum menikah di usianya yang menjelang tiga puluh. Bukankah selalu seperti itu?

Indonesia dengan kebiasaan masyarakat yang mempertanyakan status hubungan seseorang. Padahal, tidak ada hubungannya secara langsung dengan mereka, tidak merugikan siapa pun dan bukanlah sebuah aib untuk belum atau bahkan tidak menikah.

"Tara, kamu bisa ke ruangan saya?"

Lamunan Tara buyar saat mendengar suara sang manajer yang memanggilnya dari dalam ruangan. Tara menghela napas, bangkit berdiri dari kursinya seraya mengambil buku catatan, lalu melangkah memasuki ruang Manajer Divisi Bisnis tersebut dengan gontai.

His GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang