24 - Deja Vu

401 69 17
                                    

Selama satu minggu penuh, Gistara Asha Nameera fokus dengan pekerjaannya, terkadang mengharuskan dia pulang terlambat dan bahkan membuatnya tidak sempat membersihkan tubuh akibat kelelahan. Seminggu belakangan, Divisinya harus menghadapi auditor internal dan semua permintaan data yang harus dicari dan dikumpulkan saat itu juga. Rasanya sangat melelahkan, walau Tara tidak benar-benar sendiri mengerjakan semuanya. Syukurlah, dia memiliki tim yang sangat koperatif.

Sama halnya dengan Tara, Abi juga sibuk dengan proyek barunya yang mengharuskan dia pulang pergi ke berbagai tempat selama beberapa minggu belakangan. Sudah sangat langka melakukan panggilan suara atau video di malam hari, bahkan berkirim pesan selayaknya minum obat. Tiga kali sehari.

Akhir pekan ini, di hari Sabtu, Tara sempat berkunjung ke Kafe Nawasena, bertukar sapa dengan Cindy dan membaca buku yang ada di sana sambil menikmati menu hidangan utama dan makanan penutup di sana, sesekali berharap Abi akan datang. Tentu saja tidak. Pemuda itu berada di luar kota.

Sungguh, Tara memaklumi kesibukannya dan kesibukan Abi yang memang tidak dapat diganggu gugat.

Di hari Minggu, setelah hampir dua bulan tidak pulang, akhirnya Tara pulang ke rumahnya di Bogor dan disambut oleh sang Ibu dengan ceria. Di keluarga Tara ini, memang memiliki keterbatasan dalam berekspresi. Tara memaklumi itu. Sang Ibu, walau terkadang membuat kepalanya mendidih, tetap saja seorang Ibu yang selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya.

Tidak seperti pertemuan terakhir mereka, sang Ibu tidak banyak bicara. Dia hanya menyambut, mengajak Tara makan masakan bersama sang Ayah di ruang tengah dan membiarkan Tara menghabiskan waktu untuk tidur siang di kamarnya yang nampak bersih.

Tara memutuskan kembali ke kosannya pada pukul tujuh malam, setelah memesankan secara online roti Mako kesukaan sang Ibu, beras sepuluh kilogram, telur, sosis dan lain-lain untuk persediaan di rumah. Tak lupa, Tara memberi uang tunai kepada sang Ibu sebelum diantar oleh Ayah ke stasiun Bogor untuk menaiki commuter line kembali ke kosannya.

Sepanjang perjalanan, Tara hanya diam dengan pikiran kosong. Entah apa yang ingin dia pikirkan, dia pun masih mencarinya. Akhir-akhir ini, Tara merasa hidupnya teramat datar dan hanya bergerak naik turun di tempatnya bekerja. Keluarganya, masih keluarga yang menjadikannya tulang punggung. Percintaannya, masih percintaan yang membuatnya bingung. Tidak ada yang terlalu berarti di hidupnya saat ini.

Lamunan Tara buyar saat ponselnya bergetar dan pesan masuk dari kontak yang dia nantikan sedari tadi, muncul di sana. Tentu saja dari Abiseva Putra Nawasena.

Kamu di mana?

Tara sempat mengabari Abi saat hendak pulang ke rumah keluarganya dan Abi tidak membalas hingga malam ini. Tara menarik napas, menghelanya perlahan sebelum mengetikan balasan untuk Abi.

Kereta.

Tatapan Tara tertuju kepada layar ponselnya, menunggu balasan yang diharapkan dengan cepat dia terima. Dilihatnya status WhatsApp Abi yang masih online dan beberapa menit kemudian, status online itu hilang, namun belum ada balasan dari Abi.

Sekarang, Tara merasa bodoh karena membalas pesan Abi teramat cepat ketika pria itu butuh waktu berjam-jam untuk membalas pesannya. Sesibuk itukah dia hingga tidak bisa melihat pesan darinya dan membalasnya? Sepertinya hanya butuh hitungan detik. Sesulit itu kah?

Stasiun demi stasiun terlewati, hingga akhirnya Tara tiba di stasiun terdekat dengan kosannya. Tara turun dari kereta, melangkah menuruni tangga menuju ke pintu keluar stasiun dengan tatapan yang fokus kepada layar ponsel, memesan ojek daring. Hingga suara klakson membuat gadis itu terkejut bukan main. Tara memicingkan mata dan menahan napas melihat wajah yang berada di jok pengemudi mobil yang membunyikan klakson itu.

Abiseva Putra Nawasena.

Tara masih tercengang dan membeku di tempat saat Abi keluar dari mobil, menghampirinya dengan senyuman lebar.

"Hai, apa kabar?"

Sulit untuk menyembunyikan senyuman yang tiba-tiba saja muncul di bibir Tara. Tara memukul lengan Abi cepat. "Tahu dari mana aku turun di sini? Di pintu ini?"

Abi mengedikan bahu. "Insting."

Tara memutar bola matanya. "Kok gak bilang mau ke sini?"

Abi mengeluarkan ponsel dari celananya, menunjukan layarnya yang mati kepada Tara. "Low battery. Belum sempat balas kamu, udah mati."

"Gak bisa charge di mobil?"

Abi nyengir kuda. "Ketinggalan di kantor."

Tara menghela napas, kembali memukul lengan Abi. "Jangan sering-sering ngilang gitu, Bi. Gak baik."

"Kangen banget, ya?"

Tara memutar bola matanya, tanpa menjawab Abi melangkah menuju ke mobil pemuda itu dan duduk di jok, tempat dia biasa duduk, sementara Abi hanya tertawa sebelum menyusul Tara.

Perhatian Tara teralihkan ketika melihat telapak tangan kanan Abi yang digulung perban. Tara meraih tangan itu cepat, "Astaga, ini kenapa? Kenapa kamu gak bilang?!"

Buru-buru Abi menarik tangannya, masih memasang wajah tersenyum lebar tanpa dosanya. "Gak apa-apa. Udah mendingan, kok. Maaf ya gak bilang. Gak penting juga."

"Kenapa? Jawab jujur." Tara mendesak.

Abi menggeleng. "Gak apa-apa, Tara. Kecelakaan kerja. Gak sengaja, tapi udah diobatin dokter, kok. Aman."

"Jangan bohong, Bi."

"Beneran, Tara. Gak usah khawatir. Kita berangkat, ya? Makan malam dulu gak apa-apa, kan?"

Tara tidak menjawab dan masih menatap perban di telapak tangan Abi tersebut, sementara Abi mulai melajukan mobilnya menjauhi area stasiun. Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan antara Abi dan Tara. Tara masih memperhatikan luka telapak tangan itu, hingga tiba-tiba dia teringat akan mimpinya minggu lalu.

Tara mencoba mengingat dengan baik mimpinya itu sebelum gadis itu menahan napas dan memecah keheningan antara dia dan Abi.

"Bunda sehat?"

Abi menoleh sekilas, kemudian mengangguk. "Sehat."

"Ayah?"

Lagi, Abi mengangguk, "Sehat."

Tara kembali diam, masih mencoba mengingat isi mimpinya saat itu, hingga kali ini, suara Abi yang memecah keheningan.

"Kenapa nanyain Bunda sama Ayah? Udah kangen ketemu mereka? Minggu depan gimana?"

Tara mengerjap sebelum menganggukkan kepala. "Boleh, boleh. Asal kamu gak sibuk dan gak ilang-ilangan."

Abi terkekeh mendengar ucapan Tara. "Enggak, kok. Udah selesai aku, tinggal monitoring aja. Jadi, bisa lebih santai dari minggu lalu." Pemuda itu menoleh menatap Tara lekat dengan senyum lebar di bibirnya.

"Ya, sesantai-santainya kamu—ABI LIHAT KE DEPAN!"

Teriakan keras Tara membuat perhatian Abi fokus ke depan, membanting stir ke sisi kiri jalan. Abi dan Tara membeku di posisi mereka, dengan jantung berdegup cepat tak karuan. Keringat dingin membasahi wajah mereka sebelum dengan lemas bersandar pada sandaran jok masing-masing. Abi yang terlebih dahulu menyadarkan diri, pemuda itu menoleh kepada Tara yang masih terlihat terkejut, meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat.

"Maaf, Tara. Maaf banget. Aku hampir buat kita celaka."

Jika saja tadi terlambat hitungan detik Abi membanting stir, mobilnya nyaris menabrak mobil yang tengah menyeberang asal di depan mereka. Entah apa yang terjadi nantinya antara mereka berdua.

Tara memejamkan mata, satu tangannya membalas genggaman tangan Abi dan satu tangannya diletakan di depan dada. Masih terasa jelas degup jantung tak karuannya dan gadis itu masih terdiam sebelum tanpa sadar meneteskan air mata.

"Ini kayak...deja vu."

His GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang