22 - Pulang

397 73 12
                                    

Menghabiskan waktu di kediaman Nawasena, merasakan kehangatan keluarga itu, benar-benar membuat hati Tara terenyuh dan tiba-tiba dia merindukan keluarganya sendiri. Meski pun banyak beban yang Tara pikul demi keluarganya, meski pun banyak masalah yang Tara hadapi dikarenakan keluarganya, bukan berarti tak ada momen spesial yang dapat Tara rindukan. Tara rindu masakan sang Ibu, rindu makan bersama keluarga sambil berkeluh kesah. Jika saja kondisi keuangan keluarganya tidak bertambah buruk dikarenakan hutang-hutang yang diambil kedua orangtuanya, mungkin momen spesial itu masih dapat Tara rasakan.

"Ini untuk kamu makan di kosan, ya? Di simpan di kulkas, bisa untuk besok sarapan, makan siang dan makan malam. Tinggal dihangatin aja. Titip sekalian ya, untuk Abi."

Senyuman Tara melebar tatkala menerima sebuah totebag berisikan beberapa kotak makanan yang disiapkan Bunda untuknya, ketika Tara berpamitan untuk kembali ke kosan. Besok, Tara harus bekerja dan walau punya keinginan besar untuk tinggal, tetap saja tidak bisa, kan? Untuk saat ini?

Sebenarnya, tidak harus pagi ini Tara meninggalkan kediaman Nawasena. Hanya saja, Abi tiba-tiba mendapat panggilan jika ada pekerjaan yang bermasalah dan membutuhkan Abi untuk datang ke kantor. Abi menawarkan akan mengantar pulang Tara setelah pekerjaannya selesai, tapi setelah dipikir-pikir, bukankah malah lebih merepotkan? Lebih baik Tara berangkat bersama Abi daripada harus membiarkan pemuda itu pulang-pergi hanya untuknya.

"Terima kasih banyak, Bunda. Maaf, ya. Aku jadi banyak ngerepotin."

Bunda tertawa kecil. "Gak ngerepotin sama sekali, Tara. Bunda malah senang kamu ke sini, jadi lebih ramai rumah ini. Biasanya, Bunda cuma berdua sama Ayah. Mas Abi jarang banget pulang."

Kedua wanita itu melangkah menuju ke teras, Abi sudah memarkirkan mobil berbeda—hari ini, pemuda itu mengendarai HRV berwarna khaki—di depan lobi teras. Abi keluar dari mobil, menghampiri Bunda dan memeluknya erat. Bunda balas memeluknya erat sambil berkata, "Bekalmu Bunda titip ke Tara, ya. Jangan lupa di makan."

"Siap, Bunda. Pasti aku makan." Abi melepaskan pelukannya dan beralih kepada Tara, tersenyum kecil, "Tadi Ayah titip salam buat kamu, katanya: 'makasih udah ikut ramaiin ulang tahun Ayah. Hati-hati pulang. Kalau Abi nakal, kamu getok aja pakai pentongan satpam'." Abi meniru gaya bicara Ayah yang memang seperti tak bernada.

Abi mengisyaratkan Tara untuk bergegas dan Tara mengangguk kecil sebelum mengulurkan tangan, hendak berpamitan, namun tak disangk, Bunda malah meraih gadis itu ke dalam pelukannya sambil berkata, "Kamu sering-sering main ke sini, ya. Senang, Bunda ada teman wanitanya. Jaga kesehatan, kalau ada apa-apa cerita aja ke Bunda. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu."

Seumur hidup, sepertinya Tara sangat jarang mendapat dan merasakan pelukan hangat sosok Ibu. Perlakuan keluarga Nawasena padanya jelas-jelas sangat berlawanan dengan keluarganya sendiri. Rasanya Tara ingin menangis saat tangannya balas memeluk Bunda erat.

"Iya, Bunda. Makasih banyak, ya, udah mau terima dan direpotin. Sehat selalu, Bunda."

Setelah berpamitan, Tara masuk ke dalam mobil yang dibukakan pintunya oleh Abi. Dari dalam mobil, Tara membuka kaca dan melambaikan tangan kepada Bunda, sebelum Abi mengendarai mobilnya meninggalkan area kediamannya.

Beberapa menit awal, mobil terasa sangat sunyi sampai akhirnya, Abi menyalakan radio yang memainkan lagu terbaru dari Bruno Mars dan Lady Gaga, Die With A Smile. Keduanya masih hanyut dalam pikiran masing-masing, sebelum tangan Abi mengecilkan volume radio sambil berkata, "Aku langsung antar kamu ke kosan, ya?"

Tara menoleh dan mengangguk. "Boleh."

"Gak excited banget kamu balik ke kosan? Betah, ya, di rumahku?"

Pertanyaan itu membuat Tara tertawa dan Abi tersenyum mendengar tawa itu. "Ya, gimana, ya? Bunda sama Ayah kamu baik banget. Keluarga kalian cemara banget. Kayaknya, semua anak pasti berharap punya keluarga secemara kalian."

"Gak secemara itu juga," Abi berkata pelan dan membuat Tara menoleh dengan dahi mengernyit, "Tapi benar itu kata Bunda. Pintu rumah selalu terbuka untuk kamu. Semisal kamu mau main atau sekedar ketemu Bunda, aku, sih, sangat mempersilakan. Tanpa perlu aku ajak, ya."

Tara terkekeh geli. "Gak enak, lah."

"Gak enak kenapa? Kan, udah dipersilakan."

"Gak mau gitu."

"Gak apa-apa, loh."

"Tetap gak mau."

Abi tidak mendebat kembali Tara yang mulai menatap ke sisi kiri kaca, menatap ruko-ruko dan toko yang dilewati oleh mobil Abi yang lain. Keluarga cemara dan serba berkecukupan, Abi sangat beruntung.

Setelah menempuh lebih dari setengah jam perjalanan, mobil Abi berhenti di seberang kosan Tara yang terlihat sepi. Tara menarik napas, menghelanya perlahan sebelum menoleh dan berkata, "Makasih banyak, ya. I had so much fun for these past days. Semangat kerjanya, ya."

Abi tersenyum lebar. "Aku boleh telepon kamu kalau kerjaanku selesai?"

Satu alis Tara terangkat. "Gak perlu izin, sih. Kalau lagi gak sibuk, pasti aku angkat."

"Kesibukan kamu apa hari ini?"

Tara mengedikan bahu. "Entah. Meratapi hari terakhir santai minggu ini, sebelum kembali menghadapi hari Senin."

Abi terkekeh geli mendengar jawaban Tara. "So enjoy the rest, Gistara. Tidur siang kayaknya enak, deh, karena kamu tidur menjelang subuh tadi."

Tara memutar bola matanya. "Ya, karena ada orang gak jelas ngajak nonton series di Netflix dan orangnya tidur duluan, sementara aku ngelarin series itu karena penasaran endingnya."

Kali ini, Abi tertawa mendengar sindirian Tara yang kini mengerucutkan bibir. Tangan Abi tiba-tiba bergerak bersamaan dengan tubuhnya yang mendekat ke arah Tara. Tangan itu mengelus puncak kepala Tara lembut dengan wajah tersenyum lebar dekat dengan wajah Tara.

"Have a good rest, Gee. I was happier yesterday and it was all thanks to you."

Pipi Tara memerah mendengar ucapan itu, dengan canggung Tara hanya menganggukkan kepala dan membuka pintu mobil, membuat Abi sontak menjauhkan diri dan menarik tangannya.

"Makasih tumpangannya, ya. Hati-hati di jalan."

Tara berujar sebelum ke luar dari mobil, membuka pintu belakang dan mengambil barang-barangnya, lalu melangkah menuju pagar kosan. Abi tersenyum tatkala gadis itu sempat menoleh kepadanya, melambaikan tangan sebelum melangkah memasuki kos begitu saja, berusaha mengatasi jantung berdegup dan wajah memerah yang memang belum diketahui caranya.

His GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang