Six-Hate

54 26 3
                                    

Flashback Dilla

Aku menangis tersedu-sedu di rumahku. Hari ini adalah hari yang paling aku benci. Ayah dan ibuku meninggalkanku begitu cepat di dunia ini. Lalu aku akan bersama siapa? Aku harus kemana setelah ini?

Aku merasakan ada yang memelukku dari samping dan ternyata itu adalah nenekku. Aku semakin menangis pilu. Orang tuaku yang begitu aku sayangi dan cintai meninggalkanku. Mereka mengalami kecelakaan tunggal dan dinyatakan meninggal akibat luka parah yang diderita keduanya.

Nenek di sebelahku juga ikut menangis. Ayahku merupakan anak tunggal dari keluarga Adiwilaga. Semua harapan yang dibanggakan kakekku diserahkan pada putranya dan sekarang putranya sudah tertidur kaku tak bernyawa. Haruskah aku menyalahkan takdir yang menimpaku? Kenapa harus aku yang mengalami ini?

"Fara nanti ikut kakek dan nenek ya," ucap nenekku, Sri Asih.

Aku tak membalas ucapan nenek. Aku masih terus menangis di pelukannya sambil sesekali melirik ke arah foto kedua orang tuaku.

Telah berpulang ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
Prayoga Halim Adiwilaga dan Hesti Sriwedari
03 April 20XX

'Tuhan kenapa Kau begitu tega kepada hambamu ini' rintihku lirih.

Nenek membawaku ke kamarku. Sepanjang jalan ke kamar, aku selalu bersembunyi di pelukan nenek dari tatapan para pelayat yang memandangku penuh rasa kasihan. Aku merasa risih dipandangi seperti itu. Seakan-akan mereka mengerti apa yang kurasakan sekarang.

Nenek mendudukkanku di tepi ranjang. Dia mengusap kepalaku lembut dan meninggalkanku di kamar sendiri. Aku kembali menangis setelah nenekku keluar kamar. Aku terus berpikir haruskah aku ikut kedua orang tuaku saja? Aku tak suka sendirian seperti ini.

Pintu kamarku terbuka dan aku segera menyeka air mataku menggunakan punggung tanganku. Aku melihat seorang anak laki-laki masuk ke kamarku membawa nampan yang berisi cangkir. Anak itu meletakkan nampan di meja belajarku kemudian mendekatiku. Dia berlutut di hadapanku agar menyamakan wajahnya dengan wajahku. Dia menatapku dalam diam. Wajahnya tak berekspresi. Dia terlihat sangat tenang.

"Nes ..."

Sebuah senyuman tipis terukir di wajah sang anak lelaki itu. Dia mengusap kepalaku penuh sayang.

"Aku di sini, Fara," ucapnya lembut.

"Nes ..."

Aku kembali menitikkan air mataku saat melafalkan namanya. Nama anak lelaki ini adalah Narendra Eka Santoso. Anak satu-satunya dari keluarga Santoso dan pewaris utama. Aku sering memanggilnya Nes yang merupakan singkatan dari namanya. Hanya aku yang memanggilnya seperti itu. Itu panggilan sedari kecil.

Aku dan Nes merupakan teman masa kecil. Walaupun umur kami selisih empat tahun dengan Nes yang lebih tua, aku selalu menganggap Nes sebagai temanku bukan kakakku. Kami sama-sama anak tunggal jadi kami tahu rasanya kesepian di saat kedua orang tua kami sibuk.

Ayah dan ibuku merupakan teman baik dari ayah dan ibu Nes. Kami sering berkunjung ke rumah masing-masing dan dari situlah aku bisa akrab dengan Nes. Nes memperlakukanku dengan baik. Dia selalu membelaku di saat ibuku mulai memarahiku jika aku melakukan kesalahan. Aku merasa nyaman dengan Nes. Satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini selain orang tuaku adalah Nes. Aku mempercayai Nes lebih dari siapa pun.

Kedua orang tua Nes sangat menyayangiku seperti aku adalah anak perempuan mereka. Mereka memperlakukanku dengan baik bahkan aku seperti anak kandung mereka dibandingkan Nes. Nes tak pernah keberatan jika kasih sayang orang tuanya tercurahkan untukku.

HATRED (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang