Dilla
Aku bersiap ke kampus untuk melakukan seleksi awal bersama bu Ratih. Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu karena aku bisa dengan cepat lulus jika semuanya berjalan lancar. Bagi mahasiswa seni pertunjukan, mereka diberikan kebebasan untuk melakukan ujian akhir sejak tahun ke-3. Kami diberi kesempatan untuk melakukan seleksi awal di mana itu dapat menjadi jalan mempercepat ujian akhir kami.
Aku dari awal mengejar kelulusan cepat. Semakin cepat aku lulus maka semakin cepat aku akan berkarya. Aku ingin segera berbaur dengan sesama komposer dan belajar dari mereka. Kampusku juga menyediakan program magang agar kami mendapatkan pengalaman dari apa yang kami pelajari di kelas. Hanya saja tak bisa lama. Kami hanya diberi waktu tiga bulan saja untuk magang.
"Kau siap, Dil?" tanya Bu Ratih, begitu melihatku agak gugup di depan para penguji.
"Siap, Bu," jawabku yakin.
Aku menampilkan seluruh kemampuanku. Mulai dari menyanyi, memainkan instrumen dan mengaransemen lagu yang ditentukan penguji. Aku ingat untuk selalu fokus setiap hal yang aku kerjakan. Aku harus bisa menyelesaikan seleksi ini dengan baik.
"Good job, Dil!" Ucap Bu Ratih dan bertepuk tangan atas penampilanku.
Aku tersenyum senang melihat para penguji memujiku. Aku akhirnya menyelesaikan ini dengan baik. Aku merasa puas sekaligus senang dengan hasil yang aku dapat. Setelah ini aku harus fokus pada tugas akhirku.
Aku berterima kasih pada para penguji yang mulai meninggalkan ruangan. Kini hanya ada aku dan Bu Ratih di sini.
"Penampilan ini yang ibu harapkan dari kamu. Untung semuanya berjalan lancar. Ibu khawatir pita suaramu masih belum membaik," ucap bu Ratih, khawatir.
"Saya sudah melakukan persiapan sebaik mungkin, Bu. Tak mungkin saya mengecewakan Ibu. Saya masih ingat Ibu memarahi saya saat pita suara saya cedera," kataku.
Bu Ratih tertawa.
"Habisnya saat itu krusial banget. Kamu yang ingin melakukan seleksi awal secepatnya, eh pita suaramu malah cedera. Kan gregetan Ibu," ungkap Bu Ratih, gemas.
"Terima kasih ya, Bu, sudah bantu saya," ucapku sungguh-sungguh.
"Ibu puas dan ini semua pencapaianmu. Ibu tunggu tugas akhirnya, ya."
Bu Ratih pergi dari ruangan. Aku membereskan peralatanku dan melihat Brenda masuk. Wajahnya begitu sumringah melihatku. Jika orang lain lihat, pasti dikira Brenda-lah yang sudah melakukan seleksi awal.
"Selamat ya, Dil!" Seru Brenda, girang.
Brenda memelukku kencang dan meloncat-loncat kegirangan. Aku tertawa akan sikapnya yang super aktif ini. Dia betul-betul terlihat seperti orang yang paling bahagia di dunia.
"Lepas dulu. Aku jadi ga bisa nafas," ucapku.
Brenda melepaskan pelukannya dengan senyuman yang masih sangat lebar. Brenda mengambil sesuatu dari tasnya dan menyerahkan buket snack yang dibuatnya sendiri. Brenda memiliki usaha sampingan membuat buket bunga atau snack. Bisnis kecil-kecilan itu sudah dia kerjakan dari tahun ke-2. Sesekali aku membantu Brenda jika Brenda mendapatkan pesanan yang banyak terutama saat hari wisuda. Banyak mahasiswa yang memesan buket pada Brenda.
"Makasih banyak ya, Bree," kataku haru.
Brenda yang awalnya tersenyum jadi cemberut. Bibirnya melengkung ke bawah dengan raut sedihnya.
"Jangan ngomong gitu, dong! Aku kan jadi mellow," ucapnya.
"Duh kok gue jadi salah tempat gini," gumam seorang pria.
Aku dan Brenda melihat ke arah pintu ruangan di mana ada seorang pria dengan kemeja rapinya terlihat kebingungan.
"Ada apa ya, Pak?" Tanya Brenda.
Pria itu melihatku dan Brenda. Dia cukup terkejut dengan keberadaan kami dalam ruangan itu.
"Duh, sorry. Saya salah ruangan sepertinya. Saya lihat pintu ruangan ini terbuka. Saya kira ini ruangan yang saya tuju" ungkap pria itu.
"Bapak mau kemana? Biar kita yang antar," ucapku menawarkan bantuan.
Pria itu langsung menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Mungkin sedari tadi pria ini mencari ruangan tapi tak kunjung ketemu.
Aku membereskan barangku yang dibantu oleh Brenda. Setelahnya kami mengantarkan pria itu ke ruangan yang dia tuju. Ternyata pria ini ingin kembali ke ruang rapat yang berada di ujung lantai di mana ruanganku tadi berada. Jika orang awam yang baru pertama kali ke kampus ini pasti akan kesusahan mencari ruangannya. Karena ruangan itu cukup berada di pojok dan tak terlihat dari lorong utama.
"Ini Pak ruangannya," ucapku menunjuk dengan sopan ke ruangan yang tertutup.
"Makasih banyak ya."
Pintu ruangan terbuka. Aku dan Brenda terkejut.
"Ke mana aja lo? Gue tungguin," tanya Narendra.
"Kesasar gue. Lo main tinggal sih!" Gerutu Mahes.
"Nes," lirihku, sendu.
Narendra melihat ke arahku dan sedikit terkejut. Aku langsung memalingkan wajahku agar tak bertatapan lama dengan dia. Brenda melangkah di depanku menghalangi tubuhku.
"Kalau begitu kita pamit ya, Pak," ucap Brenda.
Brenda menggandengku dan membawaku pergi dari sana. Brenda tak mengatakan apa pun saat menarikku. Dia terus membawaku hingga keluar dari kampus. Dia sama sekali tak melepaskan gandengannya padaku.
Brenda mengantarkanku hingga kosku. Aku membuka pintu kamar kosku dan masuk. Brenda mengikutiku dan membantuku meletakkan peralatanku. Sikap diamnya itu membuatku bingung.
Aku duduk di tepi ranjang dan memperhatikan Brenda yang sibuk sendiri. Harus mulai dari mana aku menceritakannya? Apakah ini saat yang tepat menceritakan ini pada Brenda? Bukannya aku tak mempercayai Brenda. Hanya saja aku tak ingin lagi mengingat masa itu. Masa itu masa sedihku. Aku kira dengan aku pindah ke Jogja aku bisa menjalani hidup baru yang tak lagi terbayang masa laluku.
"Kau tak apa, Dil?"
Suara Brenda cukup mengejutkanku. Aku menatap ke arahnya yang menatapku khawatir. Apa aku baru saja melamun?
"Aku baik-baik saja, Bree," kilahku.
Brenda duduk berlutut di hadapanku. Dia menggenggam tanganku dan mengelusnya pelan. Tatapan matanya begitu teduh. Sudah lama aku tak merasakan sikap lembut seperti ini selain keluargaku. Brenda adalah orang lain dalam hidupku tapi dia memperlakukanku layaknya aku keluarganya. Brenda juga yang dengan tulus mengurusku jika aku sedang kesulitan. Brenda adalah teman berhargaku. Dia sama sekali tak mempermasalahkanku yang seorang yatim piatu ini.
"Kalau kau ada masalah, kau bisa cerita padaku, Dil. Luapkan semuanya dan mari kita obati bersama," ucapnya.
Air mataku terjatuh begitu saja dari pipiku. Entah sejak kapan aku mulai menangis. Tapi perkataan Brenda membuatku menjadi lemah. Aku tahu aku butuh seseorang untuk berbagi cerita. Psikolog yang aku temui waktu awal kuliah juga mengatakan itu. Aku butuh seorang teman yang bisa mendengarkan semua keluh kesahku. Aku sudah cukup kesepian selama ini ditambah sebuah kejadian yang membuatku semakin terpuruk. Ketidakpercayaanku pada orang lain tanpa aku sadari sudah mengakar dalam hati. Aku membatasi pada siapa saja yang mendekatiku termasuk Brenda.
Namun, Brenda tak pernah sekalipun menyerah padaku. Dia terus mendekatiku dan mengajakku bermain bersamanya. Tak aku sangka, aku menjadi nyaman berada di sekitar Brenda dan mulai berteman dengan Brenda. Teman pertamaku di kampus.
"Bisakah kau mendengarkan ceritaku, Bree? Aku tak yakin ini akan menjadi cerita yang menyenangkan," ucapku.
Brenda mengangguk. Aku tahu Brenda bisa dipercaya. Aku perlu seseorang yang memahamiku dan memahami kesakitanku selama ini.
04.07.24
Publish : 26.07.24
Kira-kira apa ya yang mau diceritaain Dilla ke Brenda? Penasaran ga?
JANGAN LUPA VOMENT JUSEYO~~~

KAMU SEDANG MEMBACA
HATRED (TERBIT)
Ficção GeralFaradilla seorang yatim piatu yang tak mempunyai tempat bergantung berhasil keluar dari masa lalu kelamnya yang menorehkan luka teramat dalam di hatinya. Begitu dia bisa menikmati masa kuliahnya di kota Jogja, ujian kembali datang dengan membawa ses...