Dilla
"Apa kau bodoh, Faradilla! Kenapa kau tiba-tiba saja mengalami cedera pita suara disaat seperti ini?!! Kau menganggapku remeh?! Kau yang memintaku untuk melakukan seleksi awal lebih cepat dan sekarang kau merusak pita suaramu?! Keluarlah!!"
Aku menunduk dalam dan membungkuk berkali-kali menyatakan rasa bersalahku. Bu Ratih jelas marah besar karena ini penting baginya dan bagiku. Aku keluar ruangan Bu Ratih dengan tampang sedih. Butuh waktu seminggu penuh untuk mengembalikan kondisi pita suaraku seperti semula. Suara adalah nyawa bagi seorang penyanyi dan aku hampir saja menghilangkan 'nyawa'ku.
"Bu Ratih marah besar?" tanya Brenda yang baru saja datang. Aku mengangguk.
"Saat ini kau hanya perlu fokus mengembalikan suaramu. Aku sudah menyiapkan banyak bahan untuk kau minum agar pita suaramu cepat pulih."
Aku tersenyum dan memberikan dua jempolku kearah Brenda. Hanya Brenda yang paling mengerti kondisiku. Aku tau dia sangat penasaran apa yang terjadi padaku saat itu tapi dia tak menanyakannya atau menyinggungnya sama sekali. Aku berterima kasih akan itu. Aku masih tak bisa menceritakannya kepada siapa pun untuk saat ini.
Kami berjalan menyusuri lorong kampus. Tak banyak mahasiswa yang datang karena kegiatan kampus dimulai lusa nanti. Hanya mahasiswa tingkat akhir atau anggota BEM yang berseliweran di kampus. Brenda sedari tadi terus mengoceh tak jelas. Aku hanya menanggapi ceritanya sesekali. Aku sampai sekarang masih takjub dengan orang seperti Brenda yang bisa bicara selama berjam-jam tanpa merasa lelah. Padahal sedari tadi Brenda yang berbicara tapi aku yang lelah mendengar ocehannya.
Saat akan keluar dari gedung jurusan seni, aku melihat siluet orang yang aku kenal. Tanpa sadar aku memegang tangan Brenda dan menyuruhnya berhenti.
"Kenapa?" tanya Brenda bingung.
Aku masih terdiam dan memandang lurus orang itu. Tanganku tiba-tiba gemetar. Cengkraman tanganku dilengan Brenda menguat. Aku masih saja tak bisa mengatasinya. Tanganku tiba-tiba saja ditarik Brenda dan berjalan berlawanan arah dari orang yang aku pandang. Brenda menarikku cepat hingga keluar dari lingkungan kampus. Aku yang masih terdiam membuat Brenda berhenti dan menatapku. Aku bisa melihat pandangan ibanya kepadaku. Ia pasti merasa kasihan dengan kondisiku saat ini.
"Semangat!!! Apapun itu kau harus semangat. Kau adalah Faradilla." ucapnya sambil menepuk kedua pundakku. Aku terkekeh pelan. Ia seperti pacar yang sedang menyemangati kekasihnya.
***
Seminggu berlalu dan akhirnya aku sudah bisa berbicara normal. Akan tetapi, suaraku masih belum stabil jika digunakan untuk bernyanyi. Saat ini aku hanya akan berbicara sekedarnya. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kosanku bila tidak ada kegiatan di kampus. Brenda pun sering mampir menemaniku agar aku tak kesepian padahal tanpa ditemanipun aku tak akan mati kebosanan. Aku sudah terbiasa sendiri.
Aku baru saja menemui Bu Ratih dan beliau memintaku untuk menunggu selama sebulan agar aku benar-benar pulih dan suaraku lebih stabil. Aku memang berencana untuk menyelesaikan kuliahku dengan cepat. Setelahnya aku akan fokus menyelesaikan proyekku. Aku ingin menjadi komposer lagu. Aku sudah mati-matian mempelajari semua hal tentang menjadi komposer. Bu Ratih pun mendukungku dan memintaku untuk memulai menjadi pengisi soundtrack di series atau film-film kecil. Katanya itu akan membantuku nantinya.
Hari ini Brenda ada kegiatan sendiri sehingga tak bisa menemaniku. Aku memutuskan untuk berjalan ke taman kampus sebentar. Sepertinya aku butuh asupan udara segar agar tak suntuk. Aku duduk di salah satu bangku taman yang tak terlalu ramai. Sudah lama aku tak merasakan ketenangan ini. Semilir anginnya terasa lebih segar walau cuaca sedikit panas. Aku harap rasa tenang ini bisa terjadi lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATRED (TERBIT)
قصص عامةFaradilla seorang yatim piatu yang tak mempunyai tempat bergantung berhasil keluar dari masa lalu kelamnya yang menorehkan luka teramat dalam di hatinya. Begitu dia bisa menikmati masa kuliahnya di kota Jogja, ujian kembali datang dengan membawa ses...