Dilla
Mataku membuka pelan membiasakan cahaya yang masuk. Masih dengan mata yang disipitkan, aku mencoba untuk melihat di mana aku berada. Aku tak tahu sudah berapa lama aku memejamkan mataku. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku berada di pantai yang gelap dengan paman Yoga yang menodongkan pisaunya. Kilasan balik itu menghantam pikiranku dan membuat pening.
Aku memijat pelan keningku. Rasanya masih sakit. Aku meringis perlahan merasakan tusukan-tusukan yang terus menerus di kepalaku. Kenapa rasanya sakit sekali?
"Kamu baik-baik saja, Fara?"
Aku mendengar suara yang familiar di ingatanku. Siapa?
Aku mengalihkan rasa sakitku untuk membuka mataku. Saat aku membuka mata, hal pertama yang aku lihat adalah wajah khawatir Pak Rudi. Keriput terlihat jelas dimataku di wajah Pak Rudi. Apa selama ini aku tak terlalu memperhatikan Pak Rudi hingga aku baru menyadari jika beliau sudah setua ini?
Aku merasakan Pak Rudi menggenggam tanganku dan meremasnya pelan. Beginikah rasanya mempunyai orang yang berada di sampingmu? Sejak kematian nenek dan kakek, aku mengabaikan semua fakta bahwa ada orang yang begitu peduli padaku. Aku mencoba menolak semua orang yang begitu perhatian padaku hanya karena aku tak ingin lagi membuat harapan baru.
Ekspetasiku terlalu tinggi pada orang-orang yang dekat denganku. Aku bisa saja menganggap mereka spesial tapi nyatanya aku tak sespesial itu untuk mereka. Menjadi dekat dengan orang baru tentu melelahkan untukku. Aku yang berkali-kali ditinggalkan oleh orang-orang terdekatku tentu tak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
"Pak," panggilku serak. Suaraku tak keluar seperti biasanya. Tenggorokanku pun sakit.
"Bapak di sini, Fara. Kamu mau minum?" tawarnya. Aku mengangguk.
Pak Rudi mengambilkan secangkir air putih dengan sedotan melengkung. Aku yang kesusahan bergerak dibantu Pak Rudi agar lebih nyaman untuk berbaring. Pak Rudi mengatur kasurku agar setengah duduk dan aku bisa leluasa untuk minum. Begitu aku merasa nyaman, Pak Rudi langsung membantuku minum.
Kerongkonganku terasa basah begitu air mengalir di dalamnya. Rasa segar dan nikmat aku rasakan. Berapa lama aku tak minum air putih seperti ini? Aku seperti orang yang kehausan karena terdampar di gurun pasir.
"Tak perlu cepat-cepat, Fara. Kamu bisa meminumnya lagi nanti," ucap Pak Rudi.
Aku melepaskan sedotan dari mulutku. Aku mendesah lega. Aku seperti telah terhidrasi kembali.
"Di mana aku?" tanyaku pada Pak Rudi. Aku sadari jika ini bukan kamar kosku.
Semua serba putih dengan aroma obat-obatan khas yang menusuk indra penciumanku. Apa mungkin Rumah Sakit?
"Kamu di Rumah Sakit, Fara. Serangan panikmu kembali dan membuatmu tertidur selama beberapa hari," jelas Pak Rudi.
Tertidur? Beberapa hari? Selama itukah aku tidur? Pantas saja aku merasa tubuhku pegal dan kaku, serta tenggorokanku kering.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanyaku.
"Bapak akan menceritakan itu nanti, ya. Sekarang bapak akan panggil kan dokter dulu untuk mengecekmu setelah kamu sadar," terangnya lalu meninggalkanku sendiri di kamar rawat.
Aku ingin kembali mengingat apa yang terjadi sebelum aku tak sadarkan diri. Tapi nyeri di kepalaku masih terasa sakit jika aku memaksa mengingatnya. Aku juga samar melihat Nes saat itu. Nes menatapku dengan wajah khawatirnya yang kentara. Apa itu cuma mimpiku saja?
Seorang dokter dan seorang perawat datang ke kamar rawatku dan diikuti Pak Rudi di belakang mereka. Aku tersenyum samar saat sang dokter menyapaku.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya sang dokter sambil memeriksa detak jantungku menggunakan stetoskop.
KAMU SEDANG MEMBACA
HATRED (TERBIT)
Fiksi UmumFaradilla seorang yatim piatu yang tak mempunyai tempat bergantung berhasil keluar dari masa lalu kelamnya yang menorehkan luka teramat dalam di hatinya. Begitu dia bisa menikmati masa kuliahnya di kota Jogja, ujian kembali datang dengan membawa ses...