Eleven-Hate

45 23 3
                                    

Narendra

"Pamanmu bergerak"

Aku masih fokus dengan laptop di meja kerjaku. Sedikit mengabaikan apa yang disampaikan oleh Mahes. Aku tahu jika pamanku itu sudah bergerak mendekati Fara. Ternyata dia sudah merencanakan ini setelah tak ada orang yang bisa melindunginya di dekatnya. Aku tentu tahu semua gerak-gerik yang dilakukan pamanku karena aku sudah mengirim orang untuk terus mengawasi Fara tanpa melakukan apapun. Aku ingin mengamati dulu apa yang dilakukan pamanku dan aku tak ingin pamanku terlalu awas padaku.

Aku, Mahes dan Pak Rudi sudah memiliki sebuah rencana untuk menjebak pamanku. Kami hanya butuh mengumpulkan bukti lebih untuk membuatnya terjebak di jeruji besi selama mungkin. Selain itu, aku harus bisa meyakinkan ayahku jika adik kesayangannya itu menusuknya dari belakang.

Aku menghela nafas melihat Mahes yang bergerak terus di depan meja kerjaku. Aku sudah mencari cara untuk tetap fokus tapi pria sialan ini benar-benar menggangguku.

"Pergi kalo lo cuma mau ganggu gue!" Gertakku.

Mahes melihatku dan tersenyum lebar dengan bodohnya. Tampangnya itu sungguh menjengkelkan. Aku selalu ingin memukulnya. Kenapa juga para wanita begitu suka berdekatan Mahes yang bertampang bodoh ini. Tingginya lebih tinggi beberapa senti dariku. Badannya juga bagus karena dia sering ke gym untuk membentuk otot-ototnya. Hanya saja wajah konyolnya -menurutku, sangat menjengkelkan.

"Kenapa sih lo marah-marah ama gue?" Ucap Mahes dengan nada sok imut.

Aku bersiap melempar mouse yang aku pegang ke arah Mahes tapi pemuda jangkung itu langsung berlari pergi meninggalkan ruang kerjaku. Aku menghela nafas. Akhirnya aku sendiri lagi. Aku bisa fokus pada pekerjaanku. Aku melanjutkan menggerakkan jariku di atas keyboard dan mulai mengetik sebuah proposal yang nantinya akan aku tunjukan ke rapat para petinggi. Aku sudah lama menyiapkan ini dan perlu beberapa perbaikan lagi hingga proposal ini menjadi layak ditunjukkan.

Jariku berhenti bergerak saat ada telepon masuk di ponselku. Aku melirik ke ponsel yang ada disisi kiri laptopku. Dahiku mengernyit melihat nama yang tertera pada layar ponselku. Aku mengangkatnya dan menempelkannya pada telinga kiriku.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Gue lupa bilang, besok kita harus ke Bali selama seminggu," ucap Mahes di sebrang telepon. Aku menyatukan kedua alisku tanda tak paham.

"Setau gue, gue ga ada dines ke Bali."

"Emang sekretaris lo ga bilang? Dadakan sih emang"

Setelah Mahes mengatakan itu, pintu ruang kerjaku diketuk lalu dibuka oleh sekretarisku. Dia menatapku sejenak dan aku memberi kode untuk mendekat

"Bentar," ucapku pada Mahes karena aku ingin berbicara dengan sekretarisku. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku dan menatap sekretarisku.

"Emang saya ada kunjungan ke Bali?" tanyaku.

"Benar, Pak. Saya baru saja diberitahu oleh asistennya Pak Satrio. Kok Bapak sudah tahu?" tanyanya.

"Mahes yang kasih tahu. Ya sudah siapin aja keperluannya buat besok. Kirim aja jadwalnya lewat email," suruhku.

"Baik, Pak"

Sekretarisku langsung keluar ruangan meninggalkanku yang masih bertelepon ria dengan Mahes. Aku kembali menempelkan ponselku ke telinga dan berbicara lagi dengan Mahes.

"Benerkan kata gue." Mahes tampak berbangga diri dari nada suaranya.

"Kenapa harus gue sih?" Gerutuku.

"Kalo bukan lo terus siapa lagi? Kan lo pewarisnya," ujar Mahes jengah.

"Gue rencana lusa mau ke Jogja, kalo gini kan batal," keluhku.

HATRED (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang