Eighteen-Hate

49 23 17
                                    

Narendra

Aku terdiam terpaku saat teman Fara, Brenda memanggilku dengan sebutan Bapak. Aku melihat penampilanku yang jelas tak seperti bapak-bapak ini. Apalagi wajahku juga masih terlihat muda. Apa anak sekarang menganggap wajahku ini sudah terlalu tua untuk mereka?

Aku mengabaikannya dan masuk ke mobil. Aku duduk di kursi sopir dan siap menjalankan mobil. Masih belum terlalu malam untuk pergi dengan dua gadis ini. Walaupun aku diperlakukan seperti sopir karena mereka berdua duduk di belakang, aku tak masalah. Asalkan Fara nyaman satu mobil denganku tentu aku tak akan mempermasalahkannya.

"Jadi kita akan ke mana, nona-nona?" tanyaku sedikit bergurau. Aku melirik ke arah spion untuk melihat dua gadis di belakang.

"Raminten aja, Pak. Laper saya," balas Brenda cuek.

"Baik. Tunjukkan jalannya, ya. Aku tak terlalu hafal jalan di Jogja," ucapku.

Aku menancap gas dan mulai meninggalkan kampus Fara. Sepanjang jalan, aku tak berbicara apa pun pada Fara maupun Brenda. Suasana canggung melingkupi mobil yang membuat batasan tak kasat mata di antara kita. Brenda sendiri mencoba mencairkan suasana dengan mengajak bicara Fara. Aku tak masalah diabaikan begini. Setidaknya di dalam mobil tidak terlalu sepi dan canggung.

Brenda memberikan arahan ke mana aku harus berbelok. Seperti biasa, jalanan di Jogja masih cukup padat jam-jam segini. Akhirnya kami sampai di tempat yang dituju Brenda. Aku harus memarkirkan mobilku di pinggir jalan. Sepertinya tempat ini tak memiliki parkir khusus hingga mengambil sisi pinggr jalan raya. Jika dilihat memang tak banyak mobil yang berlalu-lalang di sini jadi lebih enak untuk parkir.

Fara dan Brenda sudah turun terlebih dahulu untuk memesan tempat duduk. Aku memasuki restoran itu yang bernuansa klasik khas Jogja. Banyak ornamen-ornamen aneh yang aku tak terlalu tahu apa fungsinya. Aku lihat Fara dan Brenda duduk di kursi luar. Apa mungkin masuk dalam waiting list?

"Kita tak dapat meja ya?" tanyaku di sebelah Fara yang duduk bersama Brenda.

"Iya. Nanti akan dipanggil kalau sudah siap," balas Fara lembut.

Aku senang sekali Fara mau membalas perkataanku dengan suara lembut seperti dulu lagi. Tanpa sadar aku tersenyum. Brenda melirikku dari ekor matanya dan memasang wajah judesnya. Teman Fara satu ini memang tak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya. Kentara sekali dia melihatku dengan tak suka.

"Dijawab begitu aja udah langsung senyum-senyum," bisik Brenda mencibirku tapi aku jelas mendengarnya.

Fara langsung memberikan tepukan ringan pada temannya itu. Mungkin Fara malu karena Brenda berbicara keras hingga aku mengetahuinya. Persahabatan mereka terlihat sangat kuat. Aku senang Fara memiliki teman seperti Brenda. Setidaknya Brenda akan melindungi Fara dari pria-pria yang akan mengganggunya.

Tak lama nama kami dipanggil. Kami diarahkan ke meja lesehan yang ada di bawah. Nuansa unik restoran ini terlihat sekali. Suasananya nyaman dan ramai. Enak untuk makan dan mengobrol.

Brenda dan Fara duduk berdampingan, sedangkan aku duduk di depan Fara. Kami memesan makanan yang akan kami makan. Aku beberapa kali menanyakan menu pada Fara yang terkadang dijawab oleh Brenda. Aku tak mempermasalahkan sikap Brenda yang tak sopan itu. Biar saja asalkan Fara bisa nyaman berada di dekatku.

"Kamu mau ngomong apa, Pak Narendra?" tanya Fara kaku dan menyebutku Pak.

"Santai saja, Fara. Kamu bisa memanggilku Rendra atau Nes seperti biasanya."

Aku melihat ke arah Fara yang masih tak mau melihatku langsung. Dia sebisa mungkin menghindari tatapan mataku ke arahnya. Brenda sendiri tampak tak ingin ikut campur dengan pembicaraan kami. Dia terkesan cuek dengan ponsel di tangannya.

HATRED (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang