Sejenak Aviva berdiri di depan jendela sambil menatap ke arah bangunan-bangunan tinggi yang berjejer dengan pandangan kosong. Gelas berisi teh hangat disesapnya perlahan sebelum hembusan napas keluar dari mulutnya.
Aviva menggelengkan kepalanya dengan pelan. Minggu-minggu ini terasa gila, dimana ia kembali bekerja dan dihadapkan dengan tumpukan pekerjaan dan juga perihal sepasang suami istri yang adalah temannya dulu.
Selama hampir empat tahun bekerja yang penuh dengan kemonotonan, namun beberapa minggu ini penuh warna. Bukannya membuatnya ceria justru membuatnya kesal dan tidak habis pikir.
Meski begitu tak apa, semuanya sudah berlalu. Kini Aviva hanya perlu memikirkan tentang pekerjaannya dan sikap Abimanyu.
Ia jelas tahu maksud Abimanyu, perasaan pria itu, tetapi Aviva enggan mengakuinya. Ia lebih memilih berpura-pura bodoh dan menolak. Katakanlah Aviva munafik, terlalu egois, terlalu takut, tapi semua itu dilakukannya untuk masa depannya. Ia tidak mau salah memberi hatinya, karena perasaannya berharga. Jikalau memang Abimanyu sungguh mau berjuang seperti yang dikatakannya maka mungkin saja Aviva akan mengakuinya.
Sebelum pemandangan di depan matanya yang membuat kedua bola matanya melebar. Aviva menatap pria yang baru saja dipikirkannya sedang berpelukan mesra dengan seorang wanita di lorong kosong ini. Aviva yang berdiri di sudut lorong dapat melihat dengan jelas tubuh mereka yang menempel. Gelas kertas yang berada di genggamannya ditahannya agar tidak diremas olehnya.
Baru saja ia mempertimbangkan, baru saja ia mencoba untuk memberi pengecualian, tetapi apa yang baru saja dilihatnya ini?
Aviva merasa jijik, meski ia sudah sering melihatnya, tetapi ini tidaklah dibayangkan olehnya.
Aviva masih berdiri di tempat lalu memalingkan wajahnya dengan kembali menatap kosong ke arah jendela. Sampai langkah mereka yang tadinya tidak didengar Aviva kini terdengar olehnya menjauh dari situ.
Benar, memang perasaannya tidak bisa dibohongi seperti saat ini ketika air mata jatuh di pipinya yang dengan kasar Aviva menghapusnya. Ia meneguk sisa tehnya dengan cepat lalu berbalik kembali ke lantai tempatnya bekerja. Biarkan Aviva akan terus menyangkal karena semua yang dilakukannya untuk menyelematkan hatinya.
Ketika sampai di mejanya, matanya menatap pintu di depannya dengan lekat. Jadi, seperti inilah.
Ia menarik napas dan menghembuskannya kemudian memilih fokus pada pekerjaannya.
Baru lima belas menit Aviva bekerja, mejanya sudah diketuk yang membuatnya segera mengangkat kepalanya menatap Abimanyu yang berdiri di depannya.
Aviva pun segera berdiri. “Bapak, perlu sesuatu?”
Abimanyu mengangguk lalu tersenyum. “Temani aku di dalam ya? Rasanya bosan jika harus bekerja sendirian.”
Aviva meremat tangannya. “Pekerjaan saya tidak bisa ditinggalkan, Pak.”
“Bawa saja ke dalam, kerja bersamaku.”
Aviva menatap kedua iris Abimanyu. “Untuk apa?"
Abimanyu dibuat mengernyit dengan pertanyaan Aviva, tetapi ia tetap menjawabnya. “Karena aku kesepian di dalam, Avi.”
“Kesepian?” Gumam Aviva pelan lalu tersenyum miris. “Baik, Pak.”
Jawaban Aviva itu tentu membuat Abimanyu bersorak kecil lalu ia melangkah kembali ke dalam ruangannya.
Aviva segera merapikan berkas yang perlu dikerjakannya dan laptop putihnya dipeluknya kemudian melangkah menuju ruangan Abimanyu.
Tersiksalah, kau Aviva dengan kehadiran Abimanyu, tetapi dengan begini akan melatihmu untuk lebih kuat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Job As A Secretary 👠 [Revised: Completed] || Republished
RomanceSeorang sekretaris yang dipekerjakan di perusahaan tentunya hanya mengurus urusan pekerjaan di kantor tidak secara pribadi. Namun Abimanyu tidak peduli. Umum atau pribadi Aviva tetap harus mengerjakannya. Itulah sifat asli Abimanyu, tak terbantahkan...