Berulang kali Abimanyu mencoba mengajak Aviva untuk berbicara, tapi gadis itu selalu memilih diam atau menghindar.
Aviva masih dalam tahap menenangkan hatinya. Ia tidak mau mendengar penjelasaan apa pun untuk sementara.
Melihat wajah Abimanyu saja sudah terasa sesak, namun begitu ia harus tetap bersikap profesional. Aviva mencoba untuk tidak akan lari. Sesakit apa pun akan Aviva tahan karena ia yang memilihnya.
Sikapnya pun bukan lagi datar melainkan dingin. Ia tidak tersentuh. Jika sebelumnya Aviva masih bisa tersenyum kini tidak. Ia pun menjaga jarak dan menutup telinganya dari setiap perkataan Abimanyu di luar hal pekerjaan.
Frustasi itulah yang dirasakan Abimanyu. Gadisnya berbeda dan sama sekali tidak tersentuh, serasa jauh. Ia hanya bisa menatap Aviva dalam diam, dalam kerinduannya ia selalu membisikkan nama Aviva.
Sudah empat hari Aviva tidak memberinya kesempatan. Ia sudah berusaha, sungguh.
Mendekati Aviva setiap jam makan siang, tetapi selalu ditolak gadis itu. Berbicara padanya disela-sela pekerjaan yang ringan, namun selalu diabaikan, mengajaknya pulang bersama dan sekali lagi tidak digubris.
Abimanyu merindukan gadisnya dan merasa sangat bersalah. Ia ingin menjelaskan, tapi gadisnya masih marah. Meski begitu Abimanyu tidak akan menyerah. Ia akan terus membujuk Aviva, mendekatinya sampai gadis itu mau berbicara dengannya.
“Besok apa yang ingin kau lakukan, Sayang?”
Hening.
Abimanyu tidak menyerah. “Mas minta maaf, Avi. Beri Mas kesempatan untuk menjelaskan. Rasanya tidak enak tidak diacuhkan seperti ini olehmu.”
Tatapan Aviva tidak sedikit pun beralih dari layar monitor komputer.
Abimanyu mendesah pelan. “Sungguh Mas menyesal, harusnya Mas tidak memeluknya. Harusnya Mas hanya menepuk pundaknya memberi semangat. Kenapa Mas begitu bodoh? Mas yang egois, Mas memikirkan perasaannya, tapi tidak memikirkan perasaanmu. Padahal jelas-jelas kau tidak suka. Mas minta maaf, Sayang.”
Tangan Aviva terlepas dari papan ketik, ia meraih tumblrnya lalu meneguk air dari sana setelahnya kembali mengetik dan menggerakan tetikus.
“Mas sudah ingat perkataan Evelin. Terakhir dan Mas tidak akan mengulanginya lagi. Di hati dan pikiran Mas hanya ada dirimu, Avi. Bisakah kau mendengarkan, Mas?”
Aviva tentu mendengar semua perkataan Abimanyu. Kurang lebih sama ditiap harinya dan Aviva memilih tak acuh. Mau seperti apa pun Abimanyu berbicara untuk sementara ia tidak akan mau menanggapinya. Telinganya lelah, tapi takkan ada perkataan yang keluar, biarkan saja Abimanyu berbicara sampai ia lelah sendiri.
Namun sepertinya sekarang Aviva merasa telinganya pengang. Pria itu sudah lima belas menit berdiri di depan mejanya dimenit-menit terakhir sebelum jam pulang kantor untuk meminta maaf dan terus mengulangi kalimat penyesalannya.
Memang Aviva mencoba untuk tidak lari, tetapi ia mulai merasa jengah. Hingga ia pun mengambil keputusan yaitu mantap ingin melarikan diri. Aviva sedang malas menatap wajah itu, malas mendengar suaranya. Rasanya jika terus-terusan melihat Abimanyu ia ingin mengacak-acak wajah tampan Bosnya itu.
Aviva melirik jam di sudut kanan bawah komputernya. Pukul lima tepat, kalau biasanya ia akan pulang pukul enam atau bahkan lebih tidak untuk beberapa hari ini. Sekali pun ada pekerjaan yang belum diselesaikan di hari itu ia akan memilih membawanya pulang.
Aviva segera mematikan komputer dan merapikan mejanya. Tidak lama, mejanya sudah bersih dan rapi. Aviva mengambil tas yang diletakkan di sudut meja. Tanpa peduli Abimanyu ia berjalan meninggalkan pria itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Job As A Secretary 👠 [Revised: Completed] || Republished
RomanceSeorang sekretaris yang dipekerjakan di perusahaan tentunya hanya mengurus urusan pekerjaan di kantor tidak secara pribadi. Namun Abimanyu tidak peduli. Umum atau pribadi Aviva tetap harus mengerjakannya. Itulah sifat asli Abimanyu, tak terbantahkan...