52. How People Handle Their Problems

28.3K 2.2K 53
                                    

📌
Maaf nih!
Gue yakin pada gak baca notes gue dan itu gue maklumi tapi tolong, tolong banget jangan komennya "next", "lanjut", "up lagi", mulu dong.
Gue revisi juga mesti mikir bukan ngasal aja.
Maaf yaa kalo pada tersinggung dan mungkin kesannya gue gak tau terima kasih, gue justru makasih banget kalo bukan karna kalian jumlah pembaca gue gak akan sebanyak itu.
Cuma ayolahh... Hargai gue juga dong, gue usahakan cepet revisi juga biar kalian bisa cepet baca dan gak penasaran lama" tapi sabar dong.
Mie instan aja kalo masak ada langkah"nya dulu kan? Jangankan mie instan, pop mie pun harus didiemin dulu baru bisa dimakan.
Jadi sabar. Tolong banget.
Maaf kalo karna ini pada gak suka sama gue, gue gak masalah.
Dan makasih buat kalian semua yang udah mau baca bahkan suka sama cerita gue.
Gue gak marah, hanya menegaskan agar kita saling menghargai, gue menghargai kalian sebagai pembaca gue dan kalian menghargai gue sebagai penulis amatiran.

***

Terdengar sayup-sayup suara musik di dalam kafe, lagunya diputar tidak keras pun pelan, pas untuk didengar. Sesekali ice lychee tea yang dipesan mulai berkurang dari gelas tinggi itu.

Matanya hanya sibuk melihat suasana kafe tanpa berniat menyentuh gadget yang sedari tadi tergeletak begitu saja di atas meja yang juga masih bergetar. Ia malas menyentuh benda itu setelah menyalakannya sekembalinya dari libur. Baru semenit menyala, banyak sekali pemberitahuan pesan teks, surel dan lain sebagainya.

“Kau keterlaluan, Aviva!”

Gadis itu mendongak, ia justru menyunggingkan senyumannya menyapa ketiga sahabat baiknya. “Hai.”

Bonita membelalakan matanya lalu duduk di sebelah Aviva. “Hai?! Kau baru saja bilang hai setelah tanpa kabar seminggu lebih?!”

Aviva mengendik kecil dan kembali menyeruput minumannya. Cindy memilih diam, tapi pandangannya pada Aviva sinis. Ia memilih duduk di hadapan sahabatnya itu. Sedangkan Nami hanya dapat mendesah pelan, ia duduk di sisi Cindy.

“Jadi, apa yang ada dalam otak cantikmu itu? Aku sampai harus menelpon Leony untuk menanyakan perihal dirimu.” Bonita berbicara dengan cepat dan tentu terdengar kesal.

“Jangan mengomel dulu. Tunggu sampai minumanmu datang barulah dilanjut,” kata Aviva yang membuat Bonita ingin sekali menyubit bibirnya yang santai berbicara itu.

“Kenapa tidak sebulan sekalian? Biar orang-orang yang mencarimu lebih khawatir dan kelimpungan?” Sinisan itu tentunya berasal dari Cindy. “Kau bertindak seperti anak remaja.”

Pedas ucapannya bahkan tidak peduli suasana hati lawan bicara, tapi semua yang dikatakannya selalu benar dan jujur.

“Sudah. Kau baik-baik saja ‘kan, Vi?” Nami yang lebih tenang dari kedua sahabatnya itu bertanya, menengahi adu mulut kecil antara Cindy dan Aviva.

Aviva mengulum senyum hangat. “Iya, aku baik-baik saja. Maaf, menghilang tiba-tiba,” ucapnya pelan.

Percakapan mereka terhenti sesaat karena pesanan sahabat-sahabatnya baru diantar dan setelah disajikan barulah Nami yang kembali berbicara.

“Terkadang kau itu tidak terbaca, Vi. Kau tahu itu ‘kan?” Tanya Nami dengan pelan.

“Aku tahu.” Aviva mengulum senyum tipis lalu kembali menyesap tehnya.

Bonita yang baru saja selesai meneguk minuman pesanannya kini menaruh perhatian kembali pada Aviva. “Sehari kau tidak masuk kerja Bosmu itu menelpon Cindy pada esok pagi, aku pada siang hari dan Nami pada malam hari. Dan seminggu lebih ini dia sudah seperti petugas sipir yang terus menjaga kami.”

A Job As A Secretary 👠 [Revised: Completed] || RepublishedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang