Angkatan 2?

29 10 2
                                    

Tanpa mematikan sambungan telepon Arka berlari tak memperdulikan sekitarnya. Tujuannya sekarang hanya Zeyya. Tak berselang lama ia sampai di depan ruangan, dihadapan mereka ada seorang pria paruh baya mengenakan jas kebesarannya tengah sibuk menjelaskan keadaan Zeyya.

"Operasinya berjalan lancar, beruntung peluru tidak mengenai seluruh ginjal pasien, hanya goresan kecil yang semoga saja itu tidak menggangu kinerja ginjal. Jantung pasien juga lemah, disebabkan tadi sempat pendarahan hebat dan lagi-lagi pasien beruntung karena pria yang datang bersamanya memilik golongan darah yang sama yaitu AB- yang sangat langka. Karena keadaan yang memungkinkan pria itu bisa mendonorkan darahnya. Nanti kita bisa mengetahui keadaannya lebih lanjut setelah pasien siuman dari masa kritis ini. Mohon terus berdo'a semoga pasien dapat melewatinya.

Untuk saat ini pasien belum bisa di jenguk, mungkin nanti setelah 3 jam baru bisa." jelas dokter itu dengan rinci.

Semua orang mengangguk menanggapi dokter itu, Lily mengucapkan terima kasih sebelum kepergian sang dokter.

Arka berjalan mendekati jendela ruangan Zeyya. Tangannya membelai lembut kaca jendela, pandangannya mulai mengabur, membuatnya cepat-cepat menatap sembarang arah. Begitupun dengan Haikal, ia diam-diam mengedipkan mata cepat agar air matanya tidak jatuh.

Zeyya, anak itu terlihat damai dalam tidurnya, walau banyak alat-alat yang menempel pada tubuh mungilnya itu sama sekali tidak membuatnya terganggu.

"Tuan, ada panggilan dari nona El." Suara Hendrik memecah keheningan.

Jean mengangguk, meraih ponsel dari tangan Hendrik. Menekan ikon terima lalu mendekatkan ponsel itu ke telinga kanannya. Ia diam menatap lurus kaca bening di depan, menampakkan Zeyya yang masih setia memejamkan matanya.

Ia berdehem menyahuti panggilan El dari seberang telpon.

"Semuanya berjalan lancar, dan kita berhasil membawanya." kata Jean berhasil membuat semua orang disana semakin memperhatikannya.

"Tenang, anak-anak aman." sahutan terakhirnya sebelum mematikan sambungan telpon.

Jean menghela nafas, menatap satu-persatu anggota team nya.

"Tolong, simpan dulu keadaan Zeyya. Sampai nanti dia sudah lebih baik, baru kita akan membawanya pulang ke Jakarta. " Semua hanya diam tak menimpali perkataan Jean. Lalu kembali memperhatikan Zeyya melalui kaca bening itu lagi.

***

Didalam ruangan bercat putih, seorang pria membuka mata secara perlahan. Saat itu juga indra penciumannya dapat menghirup aroma obat-obatan yang membuatnya mengerutkan dahi tipis.

Ditatapnya sekitar ruangan yang cukup besar itu, tak ada siapapun disana. Hanya ada dirinya yang sudah di balut baju pasien, juga beberapa kain kasa yang melekat pada luka-luka di tubuhnya.

Ingatannya kembali pada saat ia menyaksikan seorang gadis terbaring lemah dengan berbagai alat operasi di dekatnya. Perlahan tapi pasti ia mendudukkan dirinya, itu membuatnya berdesis merasakan ngilu di beberapa bagian tubuhnya.

"Seven!" Dengan cepat Jean menahan tubuhnya saat ia berusaha untuk turun.

"Aku mau lihat Zeyya." Ucapnya masih berusaha untuk bangkit, membuat Jean menghembuskan nafas.

The School  (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang