Disisi lain, Leo tengah fokus menghadap laptop putih berlogo apel. Jari-jarinya menari lincah diatas keyboard. Kedua matanya beriringan meneliti tiap baris kalimat yang tertera, bibirnya sesekali bergumam pelan.
Dahinya berkerut, ia mencoba berpikir keras bagaimana agar ia bisa hidup tenang tanpa mempunyai tanggung jawab untuk melanjutkan jejak ayahnya itu.
Menjadi tangan kanan seseorang yang paling berpengaruh di dunia gelap itu bukan mimpinya. Ia ingin hidup normal, layaknya remaja SMA pada umumnya tanpa harus di siksa, tanpa harus melawan sang ayah, dan tanpa harus merasa sendirian. Mimpinya juga sama, ia ingin menjadi seorang pengusaha besar yang kelak akan membawa anak dan istrinya pergi mengunjungi banyak kota juga negara.
"sshh" anak itu meringis kecil ketika merasakan nyeri pada punggungnya saat hendak meraih gelas yang ada di atas nakas. Kedua matanya tak sengaja menatap pintu, dirinya termenung mendapati arka melewati kamar inapnya masih lengkap dengan stelan seragam sekolahnya. "Arka? kenapa dia di rumah sakit? Siapa yang sakit?" Bergulat dengan pikirannya membuat ia melupakan sakit pada punggungnya.
Ia menutup laptop di pangkuannya, dengan hati-hati ia menuruni brankar. Kaki telanjangnya kini memijak pada lantai yang dingin, tangannya meraih tabung cairan infus lalu melangkahkan kaki keluar kamarnya.
Dilihatnya ujung kiri koridor, kosong tidak ada orang. Ia membaca tiap papan yang menunjukkan berbagai nama ruangan.
3 papan menunjuk arah tangga yang berada tepat di kiri kamar Leo. R. Anyelir, R.Tulip, R.Cempaka. Sedangkan 3 papan mengarah lurus koridor di depannya itu. R. ICU, R. HCU, R. Jenazah.
Entah kenapa perasaannya menjadi gelisah. Tanpa di perintah kaki Leo melangkah lurus menyusuri koridor yang sepi itu.
Pada persimpangan 3 sisi kiri ia mendapati papan bertuliskan R. HCU, matanya melirik satu ruangan di ujung koridor, namun tak bertahan lama karena kakinya mulai melangkah lagi. Persimpangan 3 sisi kanan, kakinya terhenti. Papan bertuliskan R. ICU membuat ia mendekatkan diri pada dinding di sampingnya, kepalanya sedikit ia condongkan ke samping kiri memperhatikan orang-orang yang tengah berbincang tepat di depan ruangan ICU. Ia lihat ada seorang pria yang mengaku kakak dari Zeyya, ada Arka, 2 suster, dan beberapa orang yang tak ia ketahui.
Hatinya berdebar, kenapa ia tidak melihat Zeyya di antara orang-orang itu. Pikirannya berkelana, membayangkan banyak hal yang membuatnya takut seketika.
Matanya menajam saat kedua suster tadi memasuki ruangan, debaran di di dadanya semakin cepat membuat Leo tanpa sadar mendaratkan tangan kirinya pada dada kiri yang berdebar.
Kini netra hitam itu membulat sempurna saat ia lihat seorang gadis berambut curly terbaring lemah di atas brankar. Wajah cantiknya tertutupi sebuah ventilator, tangan kirinya terpasang selang kecil yang terhubung dengan tabung cairan berwarna merah.
"Zeyya" ia bergumam lirih, lalu dengan segera berlari kecil menuju kamarnya kembali saat orang-orang itu mulai berjalan kearahnya, tidak lebih tepatnya kearah R. Anyelir. Terbukti dengan suara langkah beberapa orang berjalan menaiki tangga, dan Zeyya yang di bawa suster itu melalui lift khusus pasien.
Lewat celah pintu yang ia buka sedikit, dirinya dapat melihat koridor yang kini nampak sepi lagi. Dengan kesadaran penuh ia berjalan menghampiri lift khusus pasien, terlihat panah lift berjalan naik menuju lantai 3 tepat diatas lantai yang ia pakai. Setelah melihat lift berhenti ia memilih memasuki kamarnya dan akan mencari tau tentang Zeyya nanti.
Tanpa Leo sadari, ia diperhatikan oleh seseorang yang kini tengah tersenyum penuh arti.
"Kena kau!" Ucapnya pelan, lali pergi meninggalkan rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The School (hiatus)
Teen FictionTentang 6 anak dari berbagai daerah yang disatukan dalam satu organisasi modern rahasia. Dimana satu persatu dari mereka memiliki potensi khusus masing-masing untuk menjalankan berbagai misi yang telah ditetapkan. Semua berjalan sesuai dengan apa y...