“Aliya.”
Suara yang bersumber dari belakang tubuhnya sempat mengejutkan gadis itu dikala ia memang sedang melamun, menatap ke jalanan yang tadi dilintasi oleh lelaki dikenalnya. Padahal Aliya sedang menyapu lantai teras rumah, tapi dirinya malah melihat sesuatu yang membuat sakit hati.
“Hm, kenapa Kak?” balasnya ke panggilan sang kakak tadi. Berusaha terlihat tegar agar tidak ketahuan baru patah hati.
“Dek, kamu itu jadi ikut kan belanja seserahan?” Kakaknya bertanya sambil memperhatikan penampilan sang adik dari ujung kepala sampai ke mata kaki. Masih mengenakan baju tidur. “Masa belum mandi gini, lho.”
“Ikut, Kak. Tapi aku nggak mandi. Kan masih cantik juga.”
Arban tertawa dulu mendengar ucapan adiknya sambil geleng-geleng kepala. “Gawat-gawat. Adekku udah mulai sadar kalau cantik.”
“Kan Kakak yang ngajarin aku supaya Pd.”
Arban tertawa lagi. “Iya. Lagian kenapa kamu mau insecure. Adeknya Kakak kan cantiknya natural.” Sebelum kemudian Arban menjewer satu telinga adiknya. “Tapi, minimal mandi dong, Dek!”
“Aduhhh, Kak. Sakit tau.” Gadis itu meringis, menatap ke kakaknya sambil mengerucutkan bibir.
“Mandi sekarang! Atau mau Kakak adu ke Mama?” kerucutan bibirnya lantas meredah. “Iya-iya aku mandi.”
“Nah, gitu dong. Biar cantiknya tambah kalau mandi.” Arban bisa saja meyakinkan adiknya. Tapi ini juga serius, adik perempuan satu-satunya itu memang sangat cantik.
Selesai dengan urusan mandi, lantas Aliya sudah berganti ke pakaian yang lebih pantas. Baju yang dominan berwarna Navy, juga make-up pada wajahnya yang dibuat simple. Ada tas mini yang diselempangkan ke tubuh berisikan ponsel. Bando warna cokelat di atas rambut panjangnya yang digerai. Rambutnya meliuk-liuk ke kanan-kiri saat kakinya bergegas menuruni anak tangga di rumahnya.
Aliya sebenarnya sudah mengulur waktu 3 jam dari ketentuan janji pergi hari ini. Papa dan kakaknya sudah menunggu di mobil. Hanya ada mamanya yang Aliya lihat masih di ruang tamu, akibat menunggu tuan putri yang akhirnya sudah selesai bersiap-siap.
Anisa menghela napas pelan, mulai berdiri menemui anaknya yang berhenti dua langkah dari depan tangga. “Dek, kalau kita mau ada acara pergi, kamu seharusnya mandi lebih awal. Nggak harus selalu minta diingetin. Kamu udah gede gini, mahasiswi semester 5, lho. Masa masih nggak berubah.”
Habislah dia kini dirutuki oleh mamanya. Aliya tertunduk, ia juga tidak akan menyangkal apapun. Bilang maaf karena khilaf atau lupa saja, dirinya tak berani. Aliya sadar diri karena kesalahan ini pasti akan diulanginya lagi. Mamanya sudah hafal betul dengan tabiat anak perempuannya satu ini.
“Ya udah, ayo. Papa sama kakak Arban udah tunggu kita. Kamu duluan keluar, nanti Mama yang kunci rumah."
Aliya kembali mengangkat wajahnya lurus ke sang ibu. “Iya, Ma.”
***
Sampailah mobil yang dikendarai oleh kakak laki-lakinya ke sebuah mall besar di ibu kota. Mereka disana akan berbelanja peralatan sholat dan kebutuhan lainnya untuk seserahan acara lamaran kakaknya di waktu dekat ini.
Aliya ikut membantu Anisa dan Arban, memilih barang-barang untuk calon kakak iparnya. Mulai dari warna, selera sesama perempuan, merek yang berkelas, dan sesuai kriteria yang pernah Aliya gali dari kesukaan calon iparnya.
“Kak Jihan kayaknya suka yang ini deh, Ma.”
Di masing-masing tangan mama sedang memegang dua warna. Aliya menunjuk ke tangan kanan mamanya, sepatu yang berwarna peach. “Ukuran 40.”
KAMU SEDANG MEMBACA
HTS- Hanya Teman Selamanya?
Short StoryTEMAN. Kisah dua manusia yang saling menyadari perasaan masing-masing, tapi selalu mengaku kepada publik kalau mereka hanya sebagai teman, sebatas teman, dan memang hanya teman. Yuk lanjut klik baca untuk mengetahui kisahnya ....