Selesai membaringkan Adimas di jok belakang dan memastikan Aliya sudah mengisi jok depan sebelah pengemudi, lantas Fardan mulai menginjak pedal gas, membelah jalanan dengan laju yang cukup cepat. Aliya juga memanfaatkan kehadirannya untuk mempermudah Fardan mencari rumah sakit terdekat melalui Maps dari ponselnya.
"200 meter ke depan ada rumah sakit." Aliya memberitahu, berakhir membuat Fardan menganggukkan kepala. Benar saja, ternyata ada rumah sakit yang bangunannya berada di pinggir jalan besar ini.
Setiba disana Fardan segera membantu Adimas untuk dilarikan ke dalam, keadaan lelaki rambut gondrong itu setengah sadar, tubuhnya tampak lemas. Beruntung ada brankar yang langsung menyambut kedatangan mereka, sehingga Fardan dapat segera dibantu perawat untuk membaringkan tubuh Adimas disana.
Sedangkan Aliya saat ini sedang memilih satu kontak dari ponselnya, tangannya terlihat gemetaran dikala terus men-scrool nomor yang sedang dicarinya.
Aliya akan menghubungi mama untuk datang ke rumah sakit, memberitahu kabar Adimas yang tidak diketahuinya mengalami apa.
Aliya berharap ada ketenangan yang bisa didapatnya setelah satu saja orang terdekat mereka datang kemari.
***
Anisa akhirnya datang setelah berlalu 30 menit dari waktu Aliya menelepon. Perjalanan dari klinik tempatnya bekerja sampai ke rumah sakit ini, tampak menyita waktu lama karena jarak yang cukup jauh dan macet berkepanjangan.
"Dek, ada apa sama Adimas?" Mama langsung khawatir, sedangkan Aliya lekas memeluk sang ibu dengan raut menyedihkan.
"Aku juga nggak tau, Ma. Adimas nggak biasanya kayak gini."
Fardan yang sedang duduk ngampar di sudut, tak jauh dari ruang IGD, hanya bisa memperhatikan interaksi ibu dan anak itu. Keduanya sama-sama mencemaskan seorang laki-laki yang memang tak lain adalah keluarga mereka sendiri.
Meski Anisa juga sangat khawatir, tapi dikala anaknya sudah lebih dulu rapuh, maka Anisa sebisa mungkin menenangkan anaknya. Anisa mengelus-elus belakang tubuh Aliya yang sedang menangis tersedu.
Sesaat kemudian, dokter yang menangani Adimas sudah keluar. Pria bersetelan jas putih dan stetoskop yang dikalungkan di lehernya, lantas menyampaikan diagnosis dari keadaan Adimas.
"Ini keluarga pasien?" Anisa langsung mengiyakan. "Pasien keracunan. Tapi karena dibawa tepat waktu, maka kondisinya bisa tertolong."
Sontak Fardan terkejut. Adimas keracunan? batinnya bertanya. Fardan ingat kalau Adimas memang sempat ikut makan bersama mereka, mencicipi hidangan di warung Noah. Tapi bukannya kami semua makan. Kenapa cuma Adimas yang keracunan. Fardan terus bingung di batinnya.
"Apa, Dok? Keracunan?" Anisa terkejut. Perlahan dekap Aliya ke tubuh mamanya mulai mengendur saat telinganya mendengar kondisi Adimas yang keracunan.
"Sepertinya makanan yang terakhir kali pasien makan, sudah expired. Itu menyebabkan pasien mengalami keracunan."
"Expired? Ada yang nggak beres nih." Fardan bersuara kecil, benaknya menyeret satu nama dari pelaku yang dicurigainya.
***
Hanya ada keluarga Andrean yang menjaga disini. Fardan sudah pamit pulang sejak satu jam lalu, tepat dikala Arban dan papanya menyusul kesini setelah jadwal kepulangan dari tempat kerja masing-masing. Tante Rindi selaku ibu Adimas juga sudah berada disini.
Sebenarnya Adimas di dalam sana telah sadar, tapi kondisinya yang masih lemah lantaran mendapat saran dari dokter untuk dirawat beberapa hari.
Bergilir tiap satu orang masuk menjenguk ke dalam. Anisa yang mendapat giliran pertama untuk masuk berhubung kala itu ibu Adimas masih di perjalanan. Tetapi karena sekarang sudah datang maka giliran kedua akan diberi kepada Rindi setelah Anisa sudah keluar dari ruang rawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HTS- Hanya Teman Selamanya?
Short StoryTEMAN. Kisah dua manusia yang saling menyadari perasaan masing-masing, tapi selalu mengaku kepada publik kalau mereka hanya sebagai teman, sebatas teman, dan memang hanya teman. Yuk lanjut klik baca untuk mengetahui kisahnya ....