11- Apel merah

4 1 0
                                    

"Coba tebak Kak, aku sekarang lagi seneng karena apa?"

Aliya datang menemui Arban di kamar. Niatnya hendak bercerita tentang kejadian hari ini pada kakaknya, tapi saat ia tahu pria dewasa awal itu sedang melakukan panggilan video bersama pacarnya, Aliya lebih ingin mengacaukan mereka saja.

"Ganggu aja sih kamu." Arban sambil berdesis akibat ponselnya sedang direbut paksa. Tubuhnya terpaksa harus menepi juga karena Aliya ingin berbaring di kasurnya.

"Pinjem bentar," ucapnya. Arban sedikit sebal.

"Emm, pasti seneng nya karena udah baikkan lagi ya sama mama?" duga Jihan, calon tunangan kakaknya yang tinggal menghitung hari saja. Aliya sudah berhasil menguasai ponsel milik Arban, bahkan tak membiarkan wajah Arban sedikitpun masuk ke sorotan. Jihan hanya dapat melihat wajah adik pacarnya saja yang terpampang di layar.

Namun Aliya kini merengut. "Kok Kak Jihan tau duluan? Pasti Kak Arban yang cerita ya. Tapi aku nggak sepenuhnya salah ya Kak." Aliya membela diri. "Jangan percaya sama ceritanya Kak Arban." Gadis itu kemudian melirik sinis ke kakak laki-lakinya.

"Owh, begitu ya kamu. Mentang-mentang ada Kak Jihan, jadi Kakak kamu sendiri ini mau dimusuhin?" Arban balas meliriknya sinis. Sedangkan perempuan yang ada di sambungan telepon hanya tertawa kecil mendengar sandiwara dua beradik itu.

"Nggak peduli." Wleee. Aliya menjulurkan lidah, mengejek ke kakaknya.

"Aliya, jangan gitu sama Kak Arban." Jihan menegur.

"Marahin aja, Yang." Hanya terdengar suara, tidak ada wujud orangnya yang muncul.

"Maaf, Kak." Aliya kini mengaku bersalah pada kakak-kakaknya.

Arban mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia berujar tak mempermasalahkan hal itu lagi. Arban turun dari tempat tidur untuk mengambil apel merah di atas nakas nya. Memakan dengan cara menggigit langsung, lalu menawarkan bekasnya pada sang adik. Pria itu sembari duduk kembali di atas kasur. "Mau apel nggak?"

Aliya mengulurkan telapak tangan kirinya. Tanda ia mau. Lalu mengigitnya sampai habis. Sedikitpun tak bersisa untuk kakaknya lagi.

"Dasar rakus." Mata Arban melirik sinis.

"Kak, tadi mama agak aneh deh." Aliya berdalih. Sambungan telepon pada Jihan juga masih terhubung, perempuan itu ikut menyimak cerita dari adik pacarnya.

Arban merebahkan tubuh di atas kasur, menumpukan kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan. Matanya menatap ke langit-langit kamar sedangkan telinganya fokus mendengar celotehan adiknya. "Agak aneh gimana?"

"Mama bilang kalau—" Aliya ragu mengungkapnya.

Mama selama ini nggak tulus sama Adimas. Mama cuma memanfaatkan Adimas, Kak.

"Mama bilang kalau?" Arban masih menanti ucapan adiknya yang terputus.

"Tapi kayaknya bukan waktu yang tepat kalau gue mau kasih tau ini ke kakak. Nggak enak juga kalau kak Jihan ikut tau."

"Dek, bilang apa?" Arban mulai mendesaknya.

"Mama bilang kalau ... sayang banget sama aku, mama selalu mencemaskan aku, mama seolah sadar kalau anak perempuan yang satu-satunya mereka miliki cuma aku."

Alis Arban mengeryit. "Terus, apa anehnya."

"Eee ... Ekspresinya beda lho, Kak." Arban masih tak paham maksud adiknya. "Seolah ada yang disembunyikan sama mama. Aku peka sama perbedaan itu, Kak." Aliya sedang berusaha membuat kakaknya percaya.

"Kalau menurut Kak Jihan gimana?" Beralih ia fokus ke layar ponsel lagi. Kali ini membaginya juga ke Arban agar wajah kakaknya dapat terlihat oleh pacarnya.

HTS- Hanya Teman Selamanya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang