“Aliya masih di dalam?”
Perempuan berkerudung putih yang ditemuinya di depan Gedung Fakultas Psikologi menggelengkan kepala. Adimas kenal dengannya, satu jurusan dan menempati kelas yang sama dengan adik sepupunya. Dia berharap kalau Aliya tidak pulang duluan dan masih menunggunya seperti biasa.
“Aliya malah nggak masuk kelas Dim.”
“Nggak masuk kelas?”
Lelaki itu terkejut. Pikirnya bagaimana mungkin Aliya tak masuk kuliah mengingat tidak adanya halangan yang bisa dijadikan gadis itu sebagai alasan. Acara lamaran Kak Arban kan udah dari seminggu lalu. Atau, Aliya lagi sakit?
“Iya dia ngilang. Padahal jam pertama sama kedua, dia masuk kok. Oh ya, gue duluan Dim. Tapi lo tolong coba hubungi Aliya ya. Soalnya dia satu kelompok sama gue presentasi minggu depan.”
Perempuan berkerudung putih itu semakin membuat perasaan Adimas tak tenang. Dia mengangguk. Sebenarnya tanpa masukan itu, ia juga akan menghubungi adiknya, menanyakan dimana gadis itu sekarang yang mendadak tidak mengikuti kelas di jam terakhir.
“Oke. Makasih ya.” Adimas membiarkan perempuan tadi berlalu melewatinya, kemudian ia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans, mengetik satu nama di daftar kontak untuk dihubungi. Semoga diangkat Aliya. Tetapi sudah tiga kali percobaan, Adimas tak kunjung mendapat balasan.
“Al, kamu dimana ....” Adimas sambil meremas benda yang ada di tangan kanannya kuat-kuat. Dia tak masalah kalau Aliya membolos kelas, tapi setidaknya gadis itu masih bisa dihubungi. Sekarang, kemana Adimas harus pergi kalau Aliya saja menonaktifkan ponselnya dan hilang kabar.
Denting pesan dari ponselnya kini mengembalikan atensi Adimas ke benda itu lagi. Akhirnya pesan dari Aliya. ‘Aku di pinggir danau kampus.’
Tak berpikir lama, kakinya langsung berpacu dengan cepat. Aliya selalu membuatnya khawatir dan Adimas akan peduli padanya. Tidak pernah sekalipun mengacuhkan gadis itu semenjak diperkenalkan dua tahun lalu sebagai saudara sepupu oleh orang tua mereka.
Ketika akhirnya sampai, Aliya memang benar sedang duduk disitu, seorang diri.
“Kamu kenapa—"
“Aku bolos jam terakhir karena nggak bisa fokus ke pelajaran.” Aliya mendahului sebelum Adimas mengeluarkan pertanyaannya. Gadis itu sudah bisa menebak kalau kakak sepupunya itu pasti sudah mendengar kabar tidak masuknya Aliya dari teman kelasnya.
“Nggak bisa fokus ke pelajaran gimana? Kalau mama kamu tau—"
“Mas!” Aliya agak meninggikan suaranya, bermaksud menyudahi ucapan Adimas yang menyangkutpautkan masalahnya dengan keluarga. “Bisa nggak sih, nggak usah bawa-bawa mama. Mama juga nggak akan tau kalau aku bolos!” Adimas hanya bisa menggelengkan kepala. “Kecuali, kalau kamu yang ngadu ke mama.”
Lelaki itu mulai menarik rambutnya dari ujung sampai ke pangkal kepala. Adimas akan menyerah sekarang, ia tak mau berdebat dengan adiknya. Dia juga tidak akan mengadu ke tante Anisa atas masalah ini. Hanya ia yang cukup menjaga rahasia bolosnya Aliya hari ini.
“Aku minta maaf, Al.”
Gadis itu bergeming. Adimas masih melanjutkan saja apa yang ingin disampaikannya. Dia yakin kalau Aliya masih mendengarkan.
“Tadi aku tanya tentang kamu ke Vio, makanya aku tau kalau kamu katanya bolos kelas." Aliya mengangguk. Dia memang sudah menduganya. "Dan Vio titip pesan juga ke aku kalau kamu masuk ke kelompoknya, tapi aku nggak tau matkul nya apa. Intinya maju minggu depan.”
Aliya memutar bola matanya malas sambil memangku keningnya yang terasa sangat berat. “Pasti dari urutan absen nih.” Dugaannya tak salah. Temannya Vio juga berawalan Abjad A di nama lengkapnya. Sehingga wajar kalau anak-anak huruf A menjadi percobaan pertama dari dosen baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
HTS- Hanya Teman Selamanya?
Short StoryTEMAN. Kisah dua manusia yang saling menyadari perasaan masing-masing, tapi selalu mengaku kepada publik kalau mereka hanya sebagai teman, sebatas teman, dan memang hanya teman. Yuk lanjut klik baca untuk mengetahui kisahnya ....