14- Teror

6 1 0
                                    

Ini sudah dua pekan dari kejadian keracunan waktu itu. Bunda semakin protektif padanya. Mengecek setiap tanggal expired makanan kemasan yang dibeli, hingga memastikan setiap makanan yang dimasak sudah layak untuk putranya makan. Bagi Rindi, anaknya adalah harta paling berharga yang ia miliki di dunia ini. Kehilangan Adimas seolah membuat dunianya berasa runtuh.

Rindi kini akhirnya datang dari dapur dengan membawa semangkuk sup iga. Adimas tak dibolehkannya membantu, sedikit pun. Bunda sudah mengancam akan ngambek dengannya kalau sang anak tidak menuruti perintahnya.

Tetapi Adimas diam-diam masih menyiapkan peralatan makan mereka dikala Rindi sedang memasak.

"Cuma ini aja, Bun. Masa nggak boleh." Adimas segera beralasan, ia tak akan biarkan bundanya ini mengomel. Anak lelaki itu juga sangat menolak keras jika selalu dimanjakan oleh ibunya.

Rindi boleh mencemaskannya, tapi Adimas tidak mau kalau bunda terlalu berlebihan melarang Adimas untuk membantu melakukan hal yang sebenarnya tidak terlalu merepotkan.

"Iya-iya." Balasan bunda akhirnya sesuai harapan Adimas.

"Nah gitu dong, Bun."

Rindi mengangguk sembari menyerahkan piring yang sudah berisi beberapa catu nasi untuk putranya makan. "Makasih, Bunda." Adimas tak henti tersenyum ke ibunya. Perlakuan manis itulah yang tak jarang membuat Rindi jadi melting karena anaknya.

"Iya, ayo dimakan. Keburu dingin nanti sup nya." Rindi sekarang juga ikut duduk di depan putranya. Namun Adimas masih saja memperhatikan wajah sang ibu sambil tersenyum lagi, belum ada pergerakan dari sendok di tangannya untuk menyuapkan nasi dan lauk tadi ke mulut.

"Lho. Kok kamu perhatiin Bunda. Dimakan, Dim. Nggak baik dianggurin lama gitu makanannya."

"Aku cuma takjub aja, ternyata wajah Bunda mirip banget sama tante Anisa." Itulah yang sejak tadi anak laki-laki itu pikirkan.

Bundanya lantas tertawa. "Ya, iya. Kan Bunda adeknya. Wajar kan kalau mirip. Kamu ada-ada aja deh, Nak."

"Iya, ya. Bunda kan adeknya tante," balasnya begitu polos. "Aku sama Aliya juga sering dibilangin mirip lho, Bun." Adimas sambil menyuap sesendok nasi pertamanya ke mulut.

Bundanya tertawa lagi. "Artinya, gen kamu sama Aliya itu kuat di keluarga Bunda. Makanya kalian jadi mirip."

"Oh, gitu." Adimas mangut-mangut. Dia bagai bocah di bawah umur yang ingin mengetahui segalanya dari sang ibu.

Meskipun Rindi sekarang diam-diam sedang terusik. Wanita itu tidak ingin waktu berlalu cepat, dan mengubah semuanya.

***

Selesai makan malam bersama ibunya, kegiatan Adimas selanjutnya akan menyiapkan peralatan yang perlu dibawa untuk kuliah hari pertama besok. Besok juga adalah hari dimulainya pertempuran Adimas selama 6 bulan ke depan dengan ditemani oleh mata kuliah dan praktikum semester 5 yang pasti lebih mengejutkan dari semester sebelumnya.

Adimas mencoba tetap legowo menjalani hari-harinya mulai esok nanti.

Memastikan semuanya beres, lantas laki-laki itu lanjutkan untuk bermain ponsel. Dia ingin menghubungi seorang gadis untuk diajaknya teleponan malam ini.

Panggilan diterima. Adimas mulai menanyakan kabarnya dan semua kegiatan yang dijalani gadis itu hari ini. Adimas suka mendengar suaranya, begitu lembut dan sopan terdengar di telinga. Bawaan Adimas selalu mengantuk kalau mereka sudah memasuki waktu yang berganti hitungan jam.

Seperti sekarang, matanya mulai perlahan mengatup rapat, walaupun telinganya masih selalu setia mendengar cerita itu. Cerita dari seorang gadis bernama Citra Andita, kekasihnya yang telah ia pacari sejak kelas 11 SMA.

HTS- Hanya Teman Selamanya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang