“Welcome to semester 5. This is crazy.”
Kepalanya terasa sangat pusing. Gadis berbalutkan dress selutut warna hitam itu memijit-mijitnya. “Udah semester atas aja kita beb. Bentar lagi gue S. Pd dan lo S. Psi.”
Aliya masih memoles lipstik warna merah muda di bibirnya dikala sahabat SMA-nya bernama Anggita, sudah menceritakan semua hal di kamarnya. Datang lebih awal untuk menjemput Aliya yang belum siap-siap, bahkan baru selesai mandi saat Anggita justru sudah berpenampilan siap pergi.
“Lagian lo tuh masih nggak berubah ya, Al. Lo mandi sehari sekali. Terus kalau nggak ada acara keluar, kayaknya lo mandinya siang banget. Ya ampun ... salut gue sama hidup tuan putri keluarga Andrean.” Anggita geleng-geleng kepala.
“Iya, Bu guru. Gue emang masih gini-gini aja nggak berubah. Puas?” Aliya menoleh sekilas dengan raut jengkel.
“Termasuk perasaan lo sama cowok Bandung itu, pasti masih gini-gini juga kan, nggak berubah?” Anggita mulai memancing, membuat Aliya menoleh seutuhnya, memperlihatkan wajah yang masih belum beres dipoles.
“Hubungannya juga masih gini-gini aja nggak berubah!” Aliya menjawab, berhasil membuat gadis dress selutut warna hitam itu terkejut, menutup mulutnya.
“Masih HTS sampe sekarang? Astaga, nggak habis pikir gue sama hubungan kalian. Kirain gue udah berlayar waktu graduation SMA."
“Enggak! Justru kita udah asing. Ketemu pas di halte aja kayak orang yang nggak pernah kenal.”
Anggita berusaha menahan tawanya. “Gengsi jangan digedein. Nanti nyesel, lho! Mana sekarang udah semester 5 lagi. Gantung banget.”
Aliya menarik napas dalam-dalam, sebelum mengatakan sesuatu yang begitu menyakitinya. “Fardan udah punya pacar.”
Anggita terbelalak. “SERIUS? Tau dari mana?”
“Gue liat mereka boncengan di jalan perumahan gue. Bikin kesel tau nggak.” Aliya serius sedang cemburu.
“Lo cemburu nih? Tuh kan, akibat gengsi sih.” Anggita mulai memancing lagi. “Kalau cinta sama Fardan, seharusnya lo tuh pepet terus. Sekali-kali kalau jadi cegil buat orang yang lo suka, nggak akan rugi kok.”
Aliya mulai menatapnya sebal. “Idihh. Gue punya harga diri ya!”
“Daripada nahan cemburu.” Anggita membalas lagi, berhasil membuat Aliya sekakmat tak punya jawaban.
Aliya mengaku mencintai laki-laki itu, tapi untuk mengejar cinta yang mungkin takkan terbalas, dia lebih memilih mundur.
Aliya lebih memilih memendam perasaan itu selamanya daripada mendengar penolakan dari orang yang disukainya lama.
***
Seorang laki-laki berjaket kulit sedang mematikan mesin motor ducati warna merahnya di halaman pekarangan rumah. Melepas helm dan mulai menyisir rambut gondrongnya ke belakang dengan jemari panjangnya sebelah kiri.
Sebelum memasuki rumah ini, ia merogoh ponsel dari saku celana jeans hitamnya. Membuka aplikasi chat untuk mengirim pesan ke seseorang. Adimas mulai mengetik. “Aku ada acara hari ini. Perginya sama Aliya, Yang."
Berhasil terkirim lantas Adimas mengembalikan ponselnya semula ke saku celana. Melangkahkan kaki ke depan, mulai mengetuk pintu. Kedatangannya langsung disambut oleh ibu dari gadis yang akan ditemaninya pergi.
“Assalamualaikum, Tante ....”
“Waalaikumussalam. Masuk dulu, Dim. Aliya lagi siap-siap.” Anisa langsung menyambutnya hangat usai bersalaman tangan dengan anak laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HTS- Hanya Teman Selamanya?
Short StoryTEMAN. Kisah dua manusia yang saling menyadari perasaan masing-masing, tapi selalu mengaku kepada publik kalau mereka hanya sebagai teman, sebatas teman, dan memang hanya teman. Yuk lanjut klik baca untuk mengetahui kisahnya ....