7- Alergi

14 4 0
                                    

"Mas, kamu gabung sama yang cowok-cowok ya. Aku sama Anggita mau ke rombongan yang cewek-cewek dulu."

Adimas langsung mengangguk. Sepeninggal Aliya bersama Anggita, membuat laki-laki itu agak kebingungan. Matanya mulai mengedar sekeliling, tidak tahu mau menyapa siapa lantaran tiada yang dikenalnya.

Namun disela kekalutan nya, laki-laki rambut gondrong itu juga menilai tempat ini. Memiliki desain interior modern klasik yang unik sehingga membedakannya dari tempat ngopi lain. Suasana nya cukup membuat mata dan diri merasa nyaman untuk menyinggahinya lebih lama.

Sampai saat Adimas mendadak terkesiap ketika satu pundaknya terasa ditepuk, kepalanya menoleh ke kanan. "Mau gabung sama rombongan gue nggak?"

Meski Adimas sempat menatapnya asing, tapi ujungnya dia masih berakhir menerima ajakan itu. Pikirnya, mumpung ada yang menegur. Pundaknya juga mulai dirangkul untuk dibawa ke satu meja yang sudah diisi oleh dua orang.

"Oh, nama lo Adimas." Lelaki rambut gondrong itu mangut-mangut. "Kalau gue namanya Noah. Warung kopi ini, gue founder-nya. Keren nggak, kalau mahasiswa semester 5 kayak gue udah punya bisnis."

"Oke sih." Adimas menjawab singkat sambil tergelak. "Keren banget lah. Kamu jurusan ekonomi?"

"Gue hukum. Nanti kalo lo punya kasus, boleh contact gue."

Adimas terkekeh pelan. "Jangan sampai terjerat kasus lah."

"Ya kalo gitu, gue sebagai anak hukum nggak ada bahan dong." Noah kemudian tertawa sambil menepuk pundak Adimas yang masih dirangkulnya. "Canda-canda."

"Dim, ini kenalin namanya Rafa. Dia sekarang udah jadi anggota polisi. Kalau ada masalah tilang, lo repotin dia aja nih." Tiba di tujuan, ia langsung dikenalkan pada teman-teman Noah. Rafa tertawa saja sambil menyambut uluran tangan kanan Adimas.

"Kalau yang itu, yang rambutnya model kayak anggota TNI tapi bukan. Itu namanya Fardan. Dia termasuk siswa paling pinter seangkatan di Smanglan. Sandingan sama Aliya lah pokoknya." Noah sengaja memancing. Spontan membuat pupil mata Adimas membesar saat ada nama Aliya di sela sesi perkenalan mereka.

Fardan berdiri, mengulurkan tangan kanannya lebih dulu. Mereka ternyata memiliki tinggi yang sejajar. "Semoga kita bisa jadi teman baik, Dim."

Adimas mengangguk sambil memberi senyum tipis. "Ya."

***

"Ya ampun, Al. Tambah cantik aja sih lo." Ada teman-teman kelasnya dulu yang kini ia temui. Sesuai ketentuan di grup saat itu, kalau konsep untuk para perempuan memakai dress dengan warna berbeda-beda. "Btw, lo jadi ambil jurusan Teknik Mesin?" tanya Clara kemudian. Gadis yang rambutnya sedikit ikal itu mengenakan dress berwarna merah menyala.

Aliya menggeleng sambil tertawa yang dibuat-buat. Dia sebenarnya tersinggung. Tapi Aliya berusaha tidak ambil hati juga akan itu. "Enggak kok. Dari awal gue emang mau ke psikologi. Ikut jejak karier mama gue."

Clara tertawa singkat. "Kirain lo mau nyusul Fardan."

Anggita yang kini akan menyelanya. "Apa sih, gaje banget lo. Lagian Aliya udah punya pacar baru!" Gadis dress hitam itu sengaja mengatakannya, meskipun ia harus mendapati lototan mata dari Aliya. "Gittt."

"Wah, siapa nih? Kok nggak pernah di publish." Clara semakin penasaran bersama yang lainnya.

"Aliya tuh nggak mau bagi-bagi ketampanan pacarnya. Ngerti nggak? Harusnya ngerti dong, udah semester 5 juga lo semua." Aliya menghela napas mendengar skenario palsu sahabatnya.

"Aliya bangun hubungan yang lebih dewasa, nggak harus semua orang perlu tau!" cam Anggita, berhasil membuat Clara dan yang lainnya terdiam.

Anggita yang semakin berlebihan, lantas mendapat lototan mata sekali lagi dari Aliya. Gadis itu juga menarik satu pergelangan tangan sahabatnya untuk pergi. Aliya ingin memperingati Anggita agar tidak terus berbicara sembarangan.

HTS- Hanya Teman Selamanya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang