Taufan.

200 25 9
                                    

"Kami sudah melakukan semua yang kami bisa," katanya, suaranya rendah dan gemetar.

"Tapi sayangnya, kami tidak bisa menyelamatkan dia. Saya sangat menyesal."

Sejenak, waktu seolah berhenti. Kata-kata itu menggantung di udara, seperti beban yang tak tertahankan. Ibu pasien menjerit, suaranya penuh dengan kesakitan yang dalam, dan jatuh berlutut ke lantai. Ayah pasien menutup matanya dengan tangan, tubuhnya gemetar hebat. Saudara-saudara pasien memeluk satu sama lain, tangis mereka pecah, memenuhi ruangan dengan suara duka yang memilukan.

Taufan berdiri di sana, merasakan beban tanggung jawab yang menindih hatinya. Dia ingin mengatakan sesuatu yang bisa menghibur, tetapi tidak ada kata-kata yang cukup. Dia hanya bisa berdiri, menyaksikan kepedihan yang ia tidak bisa ubah.

"Kami sangat menyesal," Taufan mengulangi.
"Kami akan memberi kalian waktu untuk berduka."

Dengan langkah berat, Taufan meninggalkan mereka, rasa kekalahan dan penyesalan mengikuti setiap langkahnya. Pintu ruang operasi tertutup lagi, memisahkan dunia kehidupan dan kematian dengan ketebalan yang menyakitkan. Ruang tunggu itu dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam, rasa kehilangan yang akan bertahan lama setelah hari ini.

Taufan pergi melangkah melewati beberapa ruang perawatan serta konseling di lorong lorong rumah sakit, setiap langkahnya menjadi berat, tanggung jawab yang ia pegang dalam pekerjaan ini bukanlah hal yang bisa dianggap permainan ataupun candaan, jika mereka gagal maka nyawa orang taruhannya.

Tapi kadang ajal tak bisa di salahkan.

Dia berhenti di depan kursi kosong di sudut lorong, tak jauh dari ruang operasi. Dengan gerakan lambat dan berat, dia duduk, tubuhnya terasa lelah bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Dia menyandarkan punggungnya, mencoba mencari sedikit kelegaan di kursi keras nan dingin yang tampak kurang bersahabat.

Lorong rumah sakit sibuk dengan kegiatan, suara sepatu yang berdetak cepat di lantai, percakapan para staf medis, dan sesekali dering telepon yang memecah kesunyian. Tapi semua itu terasa jauh bagi Taufan, seperti berada di dunia yang berbeda. Pandangannya kosong, menatap lurus ke depan namun tidak benar-benar melihat. Setiap orang yang lewat tampak seperti bayangan buram, sementara pikirannya terjebak dalam pusaran perasaan bersalah dan penyesalan.

Tangannya gemetar sedikit saat dia mengangkatnya untuk mengusap wajah, mencoba mengusir kelelahan yang tampaknya tidak akan hilang. Ingatan tentang usaha putus asanya untuk menyelamatkan pasien berulang-ulang terputar di pikirannya. Detik-detik kritis itu seolah terukir jelas dalam ingatannya, setiap kegagalan menambah beban di hatinya.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi setiap napas terasa berat, penuh dengan rasa tanggung jawab yang menghimpit. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi dia menahan air mata itu, berusaha tetap kuat meskipun hatinya terasa remuk.

Seorang perawat muda lewat, menawarkan senyum lemah, mungkin sebagai bentuk dukungan diam-diam. Taufan mengangguk sedikit, menghargai gestur itu, meskipun itu tidak bisa menghapus rasa sakit yang dirasakannya. Dia tahu bahwa dia harus segera kembali bekerja, ada banyak pasien lain yang membutuhkan perhatiannya. Tapi untuk saat ini, dia hanya ingin sejenak melarikan diri dari beban berat yang menghantuinya.

Taufan menatap lantai, mencoba mencari jawaban dalam pola ubin yang monoton. Dia mengingat janji yang pernah diucapkannya saat pertama kali menjadi dokter: untuk menyelamatkan nyawa, untuk tidak menyerah. Namun kenyataan hari ini membuatnya meragukan kemampuannya, dan itu adalah rasa yang paling menyakitkan dari semuanya.

Dengan satu tarikan napas panjang, Taufan melupakan pikiran yang membuatnya gusar dan takut. Dia tahu bahwa dia harus melanjutkan, meskipun setiap langkah terasa berat. Dia akan selalu kembali dan bertemu dengan ruang operasi, siap atau pun tidak dia akan menghadapi tugas berikutnya, sambil membawa beban kehilangan yang akan selalu menjadi bagian dari dirinya.
Ia melihat ke langit-langit ruangan, ada lampu dan sedikit hiasan untuk menghilangkan rasa khawatir bagi keluarga pasien, tapi siapa yang punya waktu melihat atap saat mereka sedang panik dan khawatir akan nyawa orang terdekat mereka.

We apologize (Boboiboy x reader) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang