"Ayah?"
melihat ke arah belakang, tak ada siapapun, hanya ada hamparan rumput.
aku kembali melihat ke depanku, pasien lewat, ada beberapa wali dan juga perawat yang sibuk—membawa infus atau mungkin itu wadah inplan milik seseorang, mana ku tahu apa itu aku hanya melihatnya.Memakai baju tidur, aku duduk di atas kursi roda ku, aku tak bisa memastikan apakah ayah yang membawaku ke sini atau perawat.
Aku melihat semua nya lalu lalang—dengan kaki mereka, tentu akan sangat senang.termenung, diriku benar benar termenung, aku merasa menyesal kenapa aku tak menuruti saja apa kata kakak kakakku, aku tak akan berakhir seperti ini, seharusnya aku masih bisa berlari.
Tapi sekarang, kaki-kaki itu hanya bayangan yang terasa jauh. Aku tak bisa lagi ikut berlari, tak bisa lagi merasakan tanah di bawahku, dan tak ada yang bisa mengubahnya. Hanya ingatan-ingatan samar yang muncul, mengingatkanku pada saat-saat di mana aku masih bebas.
Aku tahu, di lubuk hatiku, aku yang salah. Kakak-kakakku sudah memperingatkan berkali-kali. Mereka peduli, aku..aku tak tau. Aku yang keras kepala. Tapi lihatlah aku sekarang, terjebak di kursi roda ini, menatap dunia yang terus bergerak tanpaku.
Angin berhembus pelan, membawa aroma rumah sakit dan bunga yang ditanam di taman kecil di depanku. Rasanya janggal, seperti hidup di antara dua dunia. Satu dunia penuh aktivitas, orang-orang sibuk, dan langkah-langkah yang tak pernah berhenti. Di dunia lain, hanya ada aku dan kursi roda ini, diam, tak bergerak.
Seketika, suara langkah kaki mendekat. Aku tak tahu siapa itu. Entah perawat, atau mungkin—
"Ayah?" aku berbisik lagi, harapanku tipis.
Tetapi kali ini, seseorang berhenti di sampingku. Bukan Ayah. tapi orang lain.
"Kau baik baik saja?" tanyanya dengan suara datar, tanpa ada rasa iba sedikitpun. Aku mendongak, menatap wajahnya yang dingin. Dia selalu seperti ini—tegas dan tak kenal ampun, meskipun ada ketenangan yang aneh dalam tatapan matanya.
ini kak Blaze, aku memang sempat takut padanya tapi sekarang buatbaoanakuntakut, kalau dia mau menyiksaku lagi, silakan saja.
akan kubiarkan, walaupun aku mati kurasa itu lebih baik.Aku tak menjawab, hanya mengangguk pelan.
Blaze berdiri diam sejenak, menatapku dari atas. Wajahnya tetap dingin seperti biasa, tapi aku bisa merasakan tekanan dalam tatapannya. Dia selalu begitu—tegas, tanpa ampun, dan selalu menganggap semua yang terjadi adalah kesalahanku."Kau kenapa diam saja?!" suaranya tiba-tiba meninggi, membuatku tersentak. "Apa kau benar-benar tidak peduli lagi? Lihat dirimu! Ini semua karena keras kepalamu. Kau tahu itu, kan?"
Aku menelan ludah, tapi tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku. Aku ingin menjawab, ingin berteriak, tapi apa gunanya? Apa pun yang kukatakan, Blaze takkan pernah mengerti.
"Aku lelah," gumamku akhirnya, nyaris tak terdengar. "Aku tidak peduli lagi, Kak."
Blaze mengepalkan tinjunya, terlihat semakin marah,"Baru sekarang kau takut pada kami, kenapa tak sejak dulu?"
Aku tertawa kecil, getir. "Takut?" ulangku, menatap kosong ke depan. "Takut, untuk apa,kalian selalu menyuruh ku untuk melakukan hal yang tak seharusnya aku lakukan, kalian menyuruh ku tidur di luar rumah saat hujan di malam hari, bahkan mengurung ku di dalam kamarku selama 3 hari, apakah itu masuk akal, tidak bagi akal sehat ku."
Blaze mendengus, jelas tidak puas dengan jawabanku. Dia melangkah maju, berdiri tepat di depanku, seakan ingin memaksaku untuk menatapnya. "Name, kau tahu dunia ini keras, kami tak mau kau jatuh hanya karena satu masalah."
"Dengan membuatku kehilangan kemampuan berjalan ku, dengan menyiksaku, dan menjatuhkan ku dari atap?"
Aku menggeleng pelan, air mata yang selama ini kutahan mulai mengalir.Untuk beberapa detik, hanya ada keheningan di antara kami. Wajah Blaze yang penuh kemarahan perlahan berubah. Ekspresinya melunak, meskipun ia masih berusaha mempertahankan sikap tegasnya.
"Aku... minta maaf," katanya tiba-tiba, suaranya lebih pelan kali ini. Aku menatapnya, bingung. Kak Blaze, yang selalu benar, selalu keras, meminta maaf?
Dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku sudah memukulmu, aku benar benar tersulut emosi saat itu, aku tak memikirkan pengaruhnya padamu, Name."
Aku tak tahu harus merespons apa. Di satu sisi, aku merasa lega mendengar permintaan maaf itu, tapi di sisi lain, rasa marah dan kesal masih begitu kuat. Kata-kata Blaze mungkin bermaksud baik, tapi mereka tak bisa memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi.
Blaze melanjutkan, "Aku mungkin tidak mengerti apa yang kau rasakan. Tapi kau harus tahu, sendirian tidak akan membuat semuanya lebih baik. Kalau kau butuh waktu, ambillah. Tapi jangan tinggalkan kami. Jangan tinggalkan dirimu sendiri."
Aku masih terdiam, tidak yakin apakah aku mampu bangkit lagi. Tapi untuk pertama kalinya, ada secercah harapan kecil yang muncul dari dalam diriku. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan ini. Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa menunduk dan menangis, sementara Blaze tetap berdiri di sampingku, tidak lagi penuh amarah, tapi dengan sedikit rasa bersalah yang akhirnya ia akui.
Blaze berdiri di sana, tatapan dinginnya kini mulai pudar. Tapi aku masih tak bisa merasakan apa-apa selain rasa sakit yang menekan dadaku. Tanganku gemetar di atas kursi roda, sementara sisa air mata masih berusaha kutahan. Di dalam pikiranku, semua kejadian yang menimpaku berputar, seolah tak mau berhenti. Kata-kata Blaze menggaung di telingaku, tapi mereka terasa hampa.
"Aku tak bisa memperbaiki ini, Name," suaranya pelan, nyaris tak terdengar di antara deru angin yang berhembus pelan. "Tapi aku menyesal... kalau kau memberiku kesempatan."
Aku tidak membalas, tatapanku kosong, terpaku pada pemandangan di depanku—kaki-kaki yang berjalan, orang-orang yang melintas dengan kehidupan mereka. Mereka bergerak, tapi aku tetap di sini, terjebak dalam dunia yang tak lagi sama.
Blaze mendekat, berjongkok di sampingku. "Aku tahu kau mungkin tak ingin mendengar ini sekarang, tapi aku ingin kau tahu... aku minta maaf."
"kau sudah sering mengatakan itu"
Permintaan maaf. Itu yang kutunggu? Rasanya tidak. Luka-luka ini terlalu dalam untuk sekadar dihapus dengan kata-kata. Dan meski hatiku meronta, ingin sekali memaafkan dan melupakan semuanya, sesuatu di dalam diriku menolak. Luka itu masih terlalu baru, terlalu menyakitkan."Maaf," gumamku, lebih kepada diriku sendiri. "Apa maaf bisa membuatku berjalan lagi?"
Blaze terdiam. Tidak ada jawaban darinya, karena dia tahu, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan ini.
"Aku sudah mencoba keras kepala, menolak kalian, menolak semua keinginan bodoh yang kalian paksakan padaku. Tapi pada akhirnya... ini yang kudapat." Tangan kecilku mengepal, memegang erat sisi kursi roda. "Aku hanya ingin... berjalan lagi. Itu saja."
Blaze menarik napas panjang, lalu berdiri. Dia menghela napas, berat, seolah memikul beban yang baru saja disadarinya. "Aku... tak bisa memberikan itu padamu. Tapi kalau kau butuh seseorang untuk mendampingimu... aku di sini. Aku akan tetap di sini."
Aku tak menoleh. Tatapan mataku masih lurus, menembus orang-orang yang berlalu lalang. "Mungkin kau harus pergi, Kak. Tidak ada yang bisa kau perbaiki lagi."
Blaze tak langsung pergi. Dia berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu. Tapi akhirnya, dengan langkah berat, dia berbalik. Suara sepatunya terdengar menjauh, meninggalkan aku sendirian, seperti biasanya.
Aku menutup mata, mencoba meredam gemuruh yang masih berkecamuk dalam dadaku. Seberapa besar pun aku ingin mempercayai kata-kata Blaze, sebagian besar hatiku tahu bahwa maaf tidak bisa memperbaiki semuanya. Dan di dalam keheningan itu, aku tahu—ini bukan soal maaf, ini soal bagaimana aku melanjutkan hidupku sekarang. Entah dengan atau tanpa mereka.
√π÷×
kitheart aku, ini kakak pengacara tapi punya masa lalu yang kelam eh, kitheart aku.
Taufan jadi lakik gua ges
💅🏻💍💋💋💃💃Jadi bini Taufan JAYA! JAYA!
KAMU SEDANG MEMBACA
We apologize (Boboiboy x reader)
FantasyKisah seorang anak perempuan dari 7 saudara yang harus menjalani kekejaman dari kakak kandung nya sendiri. Gadis itu bernama [Name], menjadi adik dari 5 orang saudara laki laki mungkin memang tak mudah tapi ia tetap berusaha. Cerita ini hanyalah se...