Mia berjalan keluar dari venue dengan trofi di tangannya, masih dengan perasaan yang meluap-luap. Udara malam terasa lebih segar, seolah-olah semua beban yang selama ini menindihnya mulai terangkat. Namun, di balik kemenangannya, ada kekosongan yang tak bisa ia abaikan. Orang tuanya tak ada di sana, tak ada ucapan selamat atau pelukan hangat yang selama ini ia harapkan.
Saat ia menelusuri jalanan kota yang mulai lengang, pikirannya terus kembali pada ucapan ibunya.
"Fashion bukan untuk orang sepertimu."
Kalimat itu masih membekas, meski malam ini ia telah membuktikan sebaliknya. Tapi kemenangan ini bukan hanya soal membuktikan diri lebih dari itu, Mia menyadari bahwa ini adalah tentang menemukan siapa dirinya dan ke mana ia ingin pergi.
Sesampainya di rumah, Mia langsung menuju kamarnya, di mana sisa-sisa kerja kerasnya masih berserakan. Kain, sketsa, benang, dan jarum tergeletak di mana-mana. Di meja kecil di sudut ruangan, pita emas yang pernah ia temukan masih tergeletak dengan cahaya samar yang memantul dari lampu meja. Sejak pertama kali menemukannya, pita itu seolah menjadi simbol harapannya, sesuatu yang membawanya ke titik ini.
Mia meraih pita itu dan mengikatkannya ke rambutnya, memandang pantulan dirinya di cermin.
"Aku bisa melakukan ini," bisiknya kepada bayangan dirinya sendiri.
Namun, di balik tekad yang semakin kuat, ada keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan keluarganya, terutama dengan ibunya.
Keesokan harinya, dengan trofi di tangan, Mia memberanikan diri berbicara dengan orang tuanya. Saat ia berdiri di depan pintu ruang keluarga, Mia mendengar suara ayahnya berbicara dengan ibunya, namun nada percakapan mereka terasa dingin. Ia mengetuk pintu dengan pelan, dan saat ibunya membuka pintu, tatapan dingin yang sama menyambutnya.
"Apa itu?" tanya ibunya, melirik trofi yang Mia bawa.
Mia menarik napas dalam-dalam.
"Ini dari kompetisi kemarin. Aku menang bu."
Ibunya mengerutkan dahi, seakan menahan perasaannya.
"Dan kau pikir ini akan mengubah sesuatu?"ujar ibu
Mia tetap berdiri tegak, meski hatinya kembali tertusuk.
"Tidak. Tapi ini adalah awal. Aku tidak membutuhkan persetujuan siapa pun untuk mengejar impianku. Aku hanya ingin kalian tahu, aku serius dengan ini,"jawabnya dengan serius.
Suasana hening, hanya detak jam dinding yang terdengar. Mia tahu ia tidak bisa memaksa orang tuanya untuk memahami mimpinya, tetapi setidaknya, kali ini ia merasa lebih kuat. Ia tidak lagi membutuhkan pengakuan mereka untuk melangkah maju.
"Fashion bukan jalan yang mudah," ujar ayahnya tiba-tiba, dengan suara yang lebih lembut.
"Tapi jika kau sudah sejauh ini, kami berharap kau tahu apa yang sedang kau hadapi."
Mia terkejut mendengar nada suara ayahnya yang berbeda. Mungkin, meski perlahan, ada celah untuk pengertian. Meski ibunya tetap tak memberikan respon, Mia tahu bahwa langkah pertamanya telah dimulai. Ia berbalik, berjalan keluar dari ruangan itu dengan lebih ringan, yakin bahwa ini bukan akhir dari pertarungan, melainkan awal dari perjalanan panjang yang akan ia hadapi dengan kepala tegak.
Di kamarnya, Mia melepas pita emas itu dan menggenggamnya erat. Cahaya di ujung pita itu, yang dulu tampak samar dan tak pasti, kini terasa lebih jelas. Seperti impiannya semakin terang dan semakin mungkin digapai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Ujung Pita
Teen FictionPengen tau kisahnya?? staytune 🤍 jangan lupa kasih vote, dan komentar kalian dengan bahasa sebaik mungkin ya. baik berupa kritik maupun saran. thankyou all (・ิω・ิ)ノ