Setelah pertemuan itu, Mia terus memikirkan kata-kata Arga. Semakin ia mencoba menjauh dari perasaan yang berkembang di dalam hatinya, semakin jelas bahwa perasaannya terhadap Arga tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, bayangan masa lalu Arga dan ucapan Lita masih menghantui pikirannya. Setiap kali ia mencoba untuk lebih dekat, ia teringat kata-kata peringatan yang membuatnya ragu untuk melangkah.
Hari-hari berlalu, dan rutinitas mereka di studio kembali seperti biasa. Mereka tetap bekerja sama dalam proyek, tapi ada jarak yang lebih terasa dibandingkan sebelumnya. Arga, meskipun terlihat sabar, tampak lebih berhati-hati dalam mendekati Mia. Ia menghormati keputusan Mia untuk memberi waktu pada dirinya sendiri, namun Mia bisa melihat kekecewaan yang samar setiap kali mereka bertatap muka.
Satu hari, Mia sedang duduk di ruang editing, mengutak-atik foto dari pemotretan terakhir. Pikirannya terpecah antara pekerjaannya dan perasaan yang mengganggu pikirannya. Saat itulah Lita tiba-tiba muncul, duduk di sampingnya tanpa diundang.
“Kamu kelihatan murung akhir-akhir ini,” kata Lita, nadanya ringan tetapi ada nada licik yang terasa jelas.
“Ada yang salah?”
Mia tersenyum kaku, tidak ingin mengundang lebih banyak pembicaraan tentang Arga.
“Tidak, hanya sibuk saja dengan pekerjaan.”
Lita memandangnya dengan tajam.
“Kamu tahu, Mia, aku sebenarnya sudah menduga ini. Arga memang punya cara membuat perempuan merasa istimewa. Tapi pada akhirnya, dia tetaplah Arga orang yang tidak bisa dipegang. Aku hanya tidak ingin kamu jadi salah satu dari banyak yang jatuh karena pesonanya.”
Mia merasa hatinya mencelos mendengar itu. Kata-kata Lita seperti pengingat bahwa ketakutannya mungkin benar.
“Mungkin kamu benar,” jawab Mia pelan, meski dalam hatinya ia merasa ada keraguan yang besar tentang hal itu.
Lita mengangkat bahu seolah tidak peduli.
“Ya, terserah kamu. Aku hanya memperingatkan saja. Kadang kita terlalu mudah terjebak oleh perasaan.”
Setelah Lita pergi, Mia duduk sendirian di ruang editing. Kata-kata Lita terus berputar di kepalanya, menambah beban pada perasaan ragu yang sudah ia rasakan. Apakah benar Arga hanya memainkan perasaan? Apakah semua momen kebersamaan mereka tidak berarti apa-apa baginya?
Namun, semakin Mia memikirkan itu, semakin ia merasa bingung. Perasaan Arga terlihat tulus, tapi bagaimana ia bisa memastikan itu? Bagaimana ia bisa tahu bahwa Arga tidak akan melukainya seperti yang Lita katakan?
Malam itu, Mia pulang ke apartemennya dengan perasaan berat. Ia merasa terjebak di antara keinginan untuk percaya pada Arga dan ketakutan akan terluka. Saat ia tiba di apartemen, ponselnya bergetar. Pesan dari Arga masuk.
"Mia, aku harap kamu baik-baik saja. Aku hanya ingin memastikan kalau semuanya baik di antara kita. Aku merindukan percakapan kita yang dulu."
Mia menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia merindukan Arga, merindukan kebersamaan yang terasa alami di antara mereka. Namun, keraguan masih membelenggu hatinya. Setelah beberapa menit, ia akhirnya membalas.
"Aku baik, Arga. Terima kasih sudah bertanya. Aku hanya butuh waktu untuk memikirkan semuanya."
Pesan itu terasa dingin dibandingkan apa yang ingin ia sampaikan sebenarnya, tapi Mia merasa itu yang paling aman. Ia tidak ingin memberi harapan lebih pada Arga jika ia sendiri belum yakin dengan perasaannya.
Setelah membalas pesan, Mia mencoba untuk tidur, tetapi pikirannya terus berputar. Ia teringat momen-momen indah yang mereka lalui, percakapan mendalam, tawa yang tulus, dan kebersamaan di pantai. Semua itu tidak mungkin palsu, bukan? Tapi mengapa kata-kata Lita begitu membekas?
---
Keesokan harinya, di studio, Mia menerima kabar yang mengejutkan. Proyek besar yang sedang mereka kerjakan mendapat jadwal percepatan. Itu berarti lebih banyak waktu yang harus ia habiskan bersama Arga dalam beberapa minggu ke depan. Situasi itu membuat Mia semakin cemas, karena ia tahu, dengan lebih banyak waktu yang mereka habiskan bersama, perasaannya akan semakin sulit dikendalikan.
Sore itu, setelah sesi rapat proyek, Mia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Arga. Mereka duduk di sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi, tapi kali ini suasananya terasa jauh lebih tegang. Mia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan semua yang ada di pikirannya.
“Arga, aku butuh bicara,” kata Mia,
suaranya sedikit bergetar. Arga menatapnya dengan serius, menunggu apa yang akan ia katakan.
“Aku masih belum yakin dengan perasaan ini. Bukan karena aku tidak merasakan sesuatu untukmu, tapi aku takut... takut kalau aku akan terluka,” lanjut Mia, mencoba menahan emosi yang mulai muncul di suaranya.
Arga menghela napas panjang, tampak memahami rasa frustasi Mia.
“Aku tahu, Mia. Aku bisa merasakannya dari caramu menjaga jarak. Tapi aku juga merasa, semakin kita mencoba menahan perasaan ini, semakin kuat mereka. Aku serius tentang kita, dan aku tidak akan pernah membiarkan kamu terluka. Aku ingin membangun sesuatu yang nyata.”
Mia menatap mata Arga, mencari jawaban.
“Lita bilang banyak perempuan yang pernah dekat denganmu, dan mereka semua kecewa. Aku takut menjadi salah satu dari mereka, Arga. Aku tidak bisa mengambil risiko itu.”
Arga menggeleng pelan, lalu berbicara dengan nada yang lebih tegas.
“Apa yang terjadi di masa lalu bukan cerminan dari apa yang aku rasakan sekarang. Ya, aku pernah dekat dengan beberapa perempuan, tapi hubungan itu tidak pernah sekuat ini. Apa yang kita miliki berbeda, Mia. Aku tidak bisa membuktikannya dengan kata-kata saja. Aku ingin membuktikan melalui tindakan.”
Mia tetap terdiam. Kata-kata Arga terdengar tulus, tapi ketakutan di hatinya masih kuat.
Arga melanjutkan.
“Aku tidak ingin memaksa kamu untuk mempercayai aku sekarang. Tapi aku harap kamu bisa memberiku kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku tidak seperti yang mereka katakan. Aku hanya butuh kamu percaya sedikit saja, dan sisanya akan aku buktikan.”
Mia menghela napas panjang, mencoba mencerna semuanya. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk memberi Arga kesempatan, tapi ketakutan yang sama besar terus menahannya. Akhirnya, Mia berbicara dengan hati-hati,
“Aku butuh waktu, Arga. Aku belum bisa memutuskan sekarang.”
Arga tersenyum lemah, tetapi ada pengertian dalam tatapannya.
“Aku akan menunggu, Mia. Apa pun yang kamu putuskan, aku di sini.”
Percakapan itu berakhir tanpa keputusan yang pasti. Mia masih terjebak di antara keinginan untuk percaya dan rasa takut akan terluka. Arga, meskipun kecewa, tetap berjanji untuk memberinya waktu dan ruang.
Saat mereka berpisah di depan kafe, Mia merasa hatinya berat. Ia tahu bahwa keputusan besar harus diambil, dan ia tidak bisa menghindarinya selamanya. Arga telah menunjukkan ketulusan dan kesabarannya, tapi apakah itu cukup untuk mengatasi rasa takut yang mengakar dalam dirinya?
Malam itu, saat Mia berbaring di tempat tidurnya, ia memikirkan perjalanan panjang yang telah ia lalui dengan Arga. Setiap momen terasa nyata, setiap percakapan membawa arti. Mungkin, ia harus memberanikan diri. Mungkin, untuk menemukan kebahagiaan, ia harus berani mengambil risiko.
Tapi, apakah ia siap?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Ujung Pita
Teen FictionPengen tau kisahnya?? staytune 🤍 jangan lupa kasih vote, dan komentar kalian dengan bahasa sebaik mungkin ya. baik berupa kritik maupun saran. thankyou all (・ิω・ิ)ノ