Chapter 015

12 6 0
                                    

  Suatu malam yang basah dan dingin, setelah beberapa hari berturut-turut bekerja hingga larut malam, Mia akhirnya menyelesaikan pekerjaan terakhirnya untuk minggu itu. Hujan turun deras di luar studio, menciptakan alunan suara ritmis yang biasanya menenangkan. Namun, malam itu, Mia merasa lelah, fisik dan mentalnya terkuras habis. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai hal proyek-proyek yang masih menumpuk, perasaannya yang semakin tumbuh terhadap Arga, serta tekanan besar untuk terus berada di puncak performanya.

Setelah merapikan mejanya dan mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa rekan yang masih tersisa, Mia memutuskan untuk pulang. Ia tahu bahwa ia terlalu lelah untuk menyetir, tetapi perasaan ingin segera pulang dan beristirahat mendorongnya untuk tetap membawa mobilnya.

Di jalan, lampu-lampu kota yang biasanya terlihat berkilauan kini tampak kabur di balik tetesan hujan yang deras. Jalanan licin, dan angin bertiup kencang. Mia meraih ponselnya, berniat mengirim pesan singkat kepada Arga bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang. Namun, saat ia memalingkan pandangannya dari jalan hanya sekejap untuk mengetik pesan, tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di hadapannya.

Dengan reflek, Mia menginjak rem sekuat tenaga. Mobilnya berputar di jalan yang licin, meluncur dengan cepat tanpa kendali. Jantungnya berdetak kencang, suara derit ban dan benturan keras memenuhi telinganya saat mobil menabrak pembatas jalan dan terhenti dengan keras di trotoar. Segalanya terjadi begitu cepat, dan kemudian semuanya menjadi gelap.

Ketika Mia membuka matanya, kepalanya terasa berat, dan tubuhnya dipenuhi rasa sakit. Suara sirene ambulans terdengar di kejauhan, dan samar-samar ia bisa mendengar orang-orang berbicara di sekitarnya. Pandangannya kabur, tetapi ia bisa merasakan tubuhnya terjebak di dalam mobil yang ringsek. Nafasnya berat, dan darah perlahan-lahan mengalir dari luka di dahinya.

"Mia? Kamu bisa dengar aku?" Suara asing menyapanya, meskipun ia merasa terlalu lemah untuk merespons.

Cahaya dari lampu darurat terasa menyilaukan, dan Mia hanya bisa merasakan dunia di sekelilingnya semakin memudar.

Ambulans datang tak lama kemudian, petugas medis dengan cepat bekerja untuk membebaskan Mia dari reruntuhan mobil. Mereka memindahkannya dengan hati-hati ke tandu dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Saat mereka memeriksa kondisinya, Mia mulai kehilangan kesadaran lagi, jatuh ke dalam kegelapan yang lebih dalam.

---

Di rumah sakit, Arga baru saja selesai dengan tugasnya ketika ponselnya bergetar. Melihat nomor yang tidak dikenalnya, ia menjawab dengan sedikit kebingungan. Namun, begitu ia mendengar kabar itu tentang kecelakaan Mia jantungnya seakan berhenti berdetak.

Tanpa membuang waktu, Arga segera bergegas ke rumah sakit tempat Mia dibawa. Selama perjalanan, perasaan cemas, takut, dan penyesalan bercampur aduk dalam dirinya. Ia tidak bisa memikirkan apa pun selain Mia perempuan yang telah begitu berarti dalam hidupnya, yang beberapa minggu terakhir ini mulai membuka kembali hatinya untuknya. Dan kini, ia terbaring dalam keadaan kritis di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Arga langsung menuju ruang gawat darurat, menanyakan kabar Mia. Para dokter belum bisa memberikan informasi banyak, hanya mengatakan bahwa Mia mengalami luka serius, dan mereka masih melakukan berbagai pemeriksaan untuk menilai sejauh mana cedera yang dialaminya.

Arga duduk di ruang tunggu, perasaannya penuh dengan ketidakpastian. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Tatapannya tak lepas dari pintu ruang gawat darurat, berharap akan ada dokter yang keluar dengan kabar baik. Namun, setiap kali pintu itu terbuka, yang muncul hanyalah perawat yang sibuk dengan pasien lain.

Di tengah keheningan malam itu, Arga menyadari satu hal dengan jelas ia tidak ingin kehilangan Mia. Perasaan itu begitu kuat, menghantamnya dengan keras. Segala hal yang pernah terjadi di antara mereka, baik kesalahpahaman, kebahagiaan, maupun ketegangan, kini terasa tidak penting lagi. Satu-satunya yang penting adalah Mia, dan ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya.

---

Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dan mendekati Arga. Wajahnya serius, tetapi tidak menunjukkan kepanikan.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" Arga segera bertanya, suaranya gemetar.

Dokter itu menghela napas pelan sebelum menjawab.

"Mia mengalami beberapa luka serius, termasuk gegar otak dan beberapa tulang patah. Namun, kami berhasil menstabilkan kondisinya. Saat ini, dia dalam kondisi koma, tapi kami berharap dengan perawatan intensif, dia bisa pulih. Kami akan terus memantau perkembangannya dalam beberapa hari ke depan."

Arga merasa dadanya sesak. Kabar itu campur aduk di satu sisi, Mia selamat, tapi di sisi lain, dia masih belum sadar. Dengan berat hati, Arga hanya bisa menunggu di sisinya, berharap dan berdoa agar Mia segera pulih.

Waktu terus berlalu, dan malam itu terasa sangat panjang bagi Arga. Di samping tempat tidur rumah sakit, ia menggenggam tangan Mia dengan erat, berbisik pelan,

"Tolong, Mia. Bangunlah. Aku di sini... dan aku tidak akan pergi kemana-mana."

Cahaya Di Ujung PitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang