Chapter 07

15 11 2
                                    

  Beberapa minggu setelah pertemuan mereka di kafe, Mia dan Arga semakin sering berkomunikasi. Proyek kolaborasi mereka mulai berjalan dengan lancar, dan mereka menghabiskan banyak waktu bersama untuk mendiskusikan konsep, lokasi pemotretan, dan detail-detail lainnya. Setiap pertemuan membuat Mia semakin mengenal Arga lebih dalam, dan ia mulai merasa nyaman berbicara dengan pria itu tentang hal-hal di luar pekerjaan.

Suatu sore, setelah selesai dengan sesi pemotretan di studio, Arga mengajak Mia untuk makan malam.

“Kita sudah bekerja keras seharian. Gimana kalau kita makan malam di tempat yang santai? Ada restoran kecil dekat sini yang masakannya enak,” kata Arga sambil membereskan kamera dan peralatannya.

Mia berpikir sejenak sebelum mengangguk.

“Itu ide bagus. Aku juga sudah lapar,” jawabnya dengan senyum.

Mereka berjalan bersama ke restoran yang dimaksud. Restoran itu kecil dan sederhana, tapi suasananya hangat dan nyaman. Mereka memilih meja di sudut, agak jauh dari keramaian, sehingga bisa berbincang dengan lebih santai. Mia, yang biasanya pendiam saat di luar urusan pekerjaan, mendapati dirinya berbicara dengan lebih leluasa di dekat Arga.

Saat mereka menunggu makanan datang, Arga tiba-tiba berkata, “Mia, aku perhatikan sesuatu dari caramu bekerja. Kamu benar-benar passionate dengan apa yang kamu lakukan, tapi aku juga melihat kadang kamu terlihat... terbebani.”

Mia terkejut mendengar pernyataan itu. Ia tidak menyangka Arga memperhatikan hal tersebut.

“Maksudmu?” tanya Mia sambil memandangnya dengan penuh perhatian.

Arga tersenyum lembut, tetapi nadanya serius.

“Aku tahu bahwa bekerja keras itu penting, tapi aku juga merasakan ada beban emosional yang kamu bawa. Mungkin aku salah, tapi aku penasaran apakah itu karena keluargamu atau sesuatu yang lain?”

Mia terdiam sejenak. Ia jarang berbicara tentang keluarganya kepada orang lain, terutama kepada seseorang yang baru ia kenal seperti Arga. Namun, ada sesuatu dalam nada suara Arga yang membuat Mia merasa bisa mempercayainya.

“Ya, mungkin kamu benar,” Mia mengakui.

“Aku punya hubungan yang rumit dengan orang tuaku, terutama dengan ibuku. Mereka selalu meragukan pilihanku untuk terjun ke dunia fashion. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa sukses tanpa dukungan mereka.”

Arga mendengarkan dengan seksama, tidak memotong kata-kata Mia.

“Aku bisa mengerti kenapa kamu merasa terbebani. Itu pasti berat, berjuang sendirian untuk mencapai sesuatu, sambil terus merasakan tekanan dari keluarga.”

Mia mengangguk, merasa sedikit lega bisa berbagi.

“Ya, tapi aku rasa sekarang sudah lebih baik. Ibu mulai menunjukkan sedikit perubahan, meski tidak sepenuhnya mendukung, setidaknya dia tidak lagi meremehkan pilihanku.”

Arga tersenyum tipis.

“Itu langkah awal yang bagus. Aku yakin seiring berjalannya waktu, hubungan kalian akan semakin membaik. Dan yang paling penting, kamu sudah membuktikan pada dirimu sendiri bahwa kamu bisa mencapai apa yang kamu inginkan.”

Mia tersentuh dengan kata-kata Arga. Ia merasa bahwa pria ini benar-benar memahami apa yang ia alami.

“Terima kasih, Arga. Aku jarang berbicara soal ini dengan orang lain, tapi entah kenapa aku merasa nyaman berbagi denganmu.”

Arga menatap Mia dengan pandangan lembut.

“Aku senang kamu merasa begitu. Aku tahu bagaimana rasanya berjuang untuk sesuatu yang kita yakini, bahkan ketika orang lain meragukan kita.”

Mia menatapnya penasaran.

“Apakah kamu juga mengalami hal yang sama?”

Arga tersenyum getir.

“Sebagian besar keluargaku ingin aku menjadi seorang pengusaha, mengikuti jejak ayahku. Tapi aku memilih fotografi, yang bagi mereka, tidak cukup 'menguntungkan' atau 'bergengsi'. Aku harus berjuang keras untuk meyakinkan mereka bahwa ini adalah passion-ku, dan pada akhirnya, aku berhasil. Tapi perjalanan itu tidak mudah.”

Mia merasa koneksi antara mereka semakin kuat. Mereka berdua tahu bagaimana rasanya mengejar mimpi di tengah keraguan dan tekanan dari keluarga.

“Aku tidak pernah tahu bahwa kita punya cerita yang mirip,” kata Mia dengan suara pelan.

Arga mengangguk.

“Mungkin itu sebabnya aku bisa melihat semangatmu. Aku tahu perjuangan seperti apa yang harus kamu lalui.”

Mereka melanjutkan makan malam dengan suasana yang lebih santai. Setelah beberapa saat, percakapan mulai mengalir ke hal-hal yang lebih ringan tentang film favorit mereka, hobi di luar pekerjaan, hingga cerita lucu dari pengalaman masing-masing. Mia semakin menikmati waktunya bersama Arga, merasa bahwa ini bukan lagi sekadar hubungan profesional.

Saat mereka keluar dari restoran, langit sudah mulai gelap, dan angin malam bertiup lembut. Arga berjalan di samping Mia, menjaga jarak yang nyaman tetapi juga terasa akrab. Saat mereka sampai di tempat parkir, Arga berhenti dan menatap Mia.

“Mia,” katanya dengan nada sedikit lebih lembut.

“aku sangat menikmati malam ini. Dan aku tidak hanya berbicara tentang pekerjaan.”

Mia menatapnya, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba lebih cepat.

“Aku juga, Arga,” jawabnya pelan.

Ada jeda sejenak, seolah mereka berdua sedang mempertimbangkan sesuatu. Namun, Arga hanya tersenyum dan berkata,

“Aku harap kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama, tidak hanya untuk pekerjaan.”

Mia merasa wajahnya sedikit memerah, tetapi ia tersenyum balik.

“Aku juga berharap begitu.”

Arga tersenyum lebih lebar, lalu mengangkat tangan untuk melambaikan perpisahan.

“Sampai ketemu lagi, Mia. Hati-hati di jalan.”

“Sampai ketemu, Arga,” jawab Mia, merasa bahwa sesuatu yang indah mungkin sedang berkembang di antara mereka.

Saat Mia berjalan menuju mobilnya, ia tidak bisa menahan senyum yang muncul di wajahnya. Malam itu, Mia menyadari bahwa hidupnya bukan hanya soal mengejar mimpi dan membuktikan diri, tetapi juga tentang menemukan seseorang yang bisa memahami dan mendukungnya di sepanjang perjalanan itu. Dan mungkin, Arga adalah orang tersebut.

Cahaya Di Ujung PitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang