Chapter 012

8 6 0
                                    

Hari-hari berlalu, dan meskipun Mia masih dipenuhi keraguan, ia perlahan-lahan mulai membuka hatinya pada kemungkinan untuk mempercayai Arga. Perasaan takut terluka memang tak sepenuhnya hilang, tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa tak ada cara untuk benar-benar mengetahui masa depan. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti kata hatinya, dan saat ini hatinya ingin mencoba lebih dekat dengan Arga.

Proyek yang mereka kerjakan semakin intensif, memaksa mereka untuk sering bertemu. Setiap pertemuan, meskipun terkadang masih diselimuti ketegangan emosional, juga menjadi momen di mana Mia melihat sisi lain dari Arga. Ia melihat betapa seriusnya Arga bekerja, betapa ia peduli dengan setiap detail, dan betapa ia selalu ada untuk mendukung timnya. Namun, lebih dari itu, Mia merasakan ketulusan Arga yang tak bisa diabaikan.

Suatu sore, setelah sesi pemotretan yang panjang, Mia dan Arga memutuskan untuk bersantai sejenak di sebuah kafe. Tidak ada pembicaraan serius kali ini, hanya obrolan ringan tentang proyek mereka dan beberapa candaan tentang hal-hal kecil di studio. Suasana yang dulu canggung kini mulai mencair. Perlahan-lahan, Mia merasa lebih nyaman berada di sekitar Arga.

Namun, di tengah kebersamaan yang tampak semakin baik itu, masalah baru muncul. Studio menerima proyek besar dari klien internasional, dan sayangnya, hanya satu orang yang akan ditunjuk untuk memimpin tim baru yang akan dibentuk khusus untuk proyek tersebut. Baik Mia maupun Arga menjadi kandidat kuat untuk posisi tersebut, dan ini membuat situasi mereka semakin rumit.

Beberapa hari kemudian, saat Mia sedang bekerja, ia mendengar rumor yang mulai beredar di studio. Beberapa rekan kerja membicarakan bahwa Arga hampir pasti akan mendapatkan posisi itu karena kedekatannya dengan klien. Mia mendengar semuanya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia sangat menghargai Arga dan ingin melihatnya sukses. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia telah bekerja keras dan pantas mendapatkan kesempatan yang sama.

Sore itu, Mia memutuskan untuk berbicara dengan Arga. Mereka bertemu di tempat favorit mereka di taman dekat studio. Namun kali ini, suasananya berbeda. Mia tampak lebih tegang, dan Arga bisa merasakannya.

"Ada apa, Mia?" tanya Arga, mencoba memulai percakapan dengan lembut.

Mia menghela napas panjang, berusaha merangkai kata-kata yang tepat. "Aku dengar tentang proyek baru itu. Dan... aku dengar kalau kamu mungkin akan memimpin timnya."

Arga mengangguk pelan, tatapannya serius.

"Ya, aku juga dengar. Tapi belum ada keputusan resmi dari studio."

Mia menggigit bibirnya, merasa ragu untuk melanjutkan. Tapi ia tahu ia harus jujur tentang perasaannya.

"Aku tahu kamu pantas mendapatkan posisi itu, Arga. Kamu sangat berbakat dan bekerja keras. Tapi aku juga merasa... aku sudah bekerja keras selama ini. Aku ingin kesempatan itu juga."

Arga terdiam sejenak, memandang Mia dengan hati-hati.

"Mia, aku tidak ingin ini menjadi masalah antara kita. Aku tahu kamu layak mendapatkan kesempatan itu. Dan jika kamu terpilih, aku akan mendukungmu sepenuhnya."

Mia menghargai kata-kata Arga, tetapi masih ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti hatinya.

"Aku hanya tidak ingin hubungan kita apa pun yang kita miliki sekarang mempengaruhi keputusan ini. Aku tidak ingin kamu berpikir bahwa aku merasa iri atau cemburu."

Arga tersenyum tipis, tetapi di balik senyum itu, ada kekhawatiran.

"Mia, aku mengerti. Tapi kita harus jujur pada diri kita sendiri. Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang karier kita masing-masing. Dan aku tahu bahwa baik kamu maupun aku punya ambisi besar. Aku hanya berharap apa pun yang terjadi, kita bisa tetap menghormati satu sama lain."

Mia menatap Arga, merasa tersentuh oleh ketulusan dalam kata-katanya. Namun, ia juga tahu bahwa ini bisa menjadi titik kritis dalam hubungan mereka. Ketika karier dan perasaan bercampur, segalanya bisa menjadi lebih rumit.

---

Beberapa minggu kemudian, keputusan akhirnya keluar. Studio mengumumkan bahwa Arga akan memimpin tim untuk proyek internasional. Mia, meskipun kecewa, mencoba untuk tetap profesional dan menerima keputusan itu dengan lapang dada. Ia tahu bahwa Arga pantas mendapatkan posisi itu, meskipun perasaan kecewa dan rasa tidak aman sempat melintas di hatinya.

Hari itu, setelah pengumuman, Arga menghampiri Mia di ruang kerjanya.

"Aku tahu ini mungkin bukan kabar yang mudah untukmu," katanya, suaranya penuh perhatian.

"Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat menghargai kerja kerasmu. Dan aku harap ini tidak mengubah apa pun antara kita."

Mia tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat.

"Aku senang untukmu, Arga. Kamu pantas mendapatkannya. Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi ini."

Arga menatapnya dengan penuh pengertian.

"Aku akan selalu ada jika kamu butuh bicara, Mia. Aku tidak ingin apa pun membuat kita menjauh satu sama lain."

Mia mengangguk, tetapi di dalam dirinya, ia tahu bahwa ini adalah ujian besar bagi hubungan mereka. Tidak hanya tentang karier, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa menjaga keseimbangan antara ambisi dan perasaan.

Selama beberapa minggu berikutnya, Mia mencoba fokus pada proyek-proyek lain dan menjaga jarak dari perasaan negatif yang mungkin timbul. Sementara itu, Arga semakin sibuk dengan tanggung jawab barunya, membuat waktu mereka untuk bertemu semakin berkurang. Meski begitu, Arga selalu berusaha untuk meluangkan waktu bersama Mia, meskipun hanya sebentar.

Namun, keadaan menjadi lebih rumit ketika Mia mendengar desas-desus lain di studio. Beberapa rekan kerja mulai berbisik-bisik bahwa kedekatan Mia dan Arga menjadi alasan mengapa Mia tidak mendapatkan posisi pemimpin tim. Mereka menganggap bahwa hubungan mereka telah memengaruhi keputusan studio.

Mendengar itu, Mia merasa marah dan terluka. Ia merasa diremehkan, seolah-olah kerja kerasnya tidak dihargai dan hanya dilihat sebagai 'perempuan yang dekat dengan Arga.' Ia tahu rumor itu tidak adil, tetapi ia juga tahu bahwa gosip semacam itu bisa merusak reputasinya di studio.

Sore itu, Mia memutuskan untuk menghadapi Arga. Mereka bertemu lagi di kafe tempat biasa. Namun, kali ini, Mia tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.

"Arga, aku sudah tidak tahan dengan semua gosip di studio," kata Mia langsung begitu mereka duduk.

"Orang-orang mulai bilang kalau aku tidak dapat posisi itu karena aku terlalu dekat denganmu. Seolah-olah aku tidak cukup layak sendiri!"

Arga terkejut mendengar itu.

"Mia, aku tidak tahu ada yang berbicara seperti itu. Aku janji, keputusan itu murni dari studio. Aku tidak punya pengaruh apa pun terhadap keputusan mereka."

Mia menatap Arga, matanya dipenuhi emosi.

"Tapi apa yang mereka katakan tetap membuatku terlihat lemah, Arga. Seolah-olah aku tidak bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Dan itu menyakitkan."

Arga menggenggam tangan Mia dengan lembut, mencoba menenangkannya.

"Mia, kamu kuat, dan semua orang yang benar-benar mengenalmu tahu itu. Jangan biarkan gosip seperti ini menghancurkanmu. Kita bisa menghadapi ini bersama."

Mia menarik tangannya, merasa bingung.

"Aku tidak tahu, Arga. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku merasa... terjebak."

Dengan perasaan campur aduk, Mia meninggalkan pertemuan itu. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Arga berada di ambang krisis. Karier, perasaan, dan gosip di sekitar mereka semuanya semakin menekan, membuat Mia semakin sulit untuk menemukan jalannya sendiri.

Cahaya Di Ujung PitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang