Chapter 05

16 14 5
                                    

  Keesokan harinya, Mia berangkat ke ibukota dengan perasaan campur aduk antusiasme dan rasa lega bercampur menjadi satu. Pagi itu, sebelum meninggalkan rumah, ibunya bahkan sempat memberinya bekal kecil untuk perjalanan, sesuatu yang sederhana namun terasa sangat berarti. Ada kehangatan baru dalam interaksi mereka, meski masih terbungkus dalam sikap ibunya yang canggung.

Setibanya di tempat acara, suasana sibuk dan penuh gairah memenuhi ruangan. Desainer muda dari berbagai daerah menyiapkan koleksi mereka, sementara para model berlatih di belakang panggung. Mia, meski gugup, berusaha tetap tenang. Ia tahu ini adalah momen yang sangat penting dalam kariernya.

Saat ia sedang memeriksa pakaian yang akan dipamerkan, seorang asisten acara mendekatinya.

“Mia, ada satu hal yang perlu kamu ketahui,” katanya, terlihat sedikit khawatir.

“Seorang jurnalis terkenal akan hadir di acara ini. Dia sering kali menulis ulasan yang cukup keras, jadi bersiaplah.”

Mia merasakan ketegangan meningkat. Jurnalis? Ulasan? Itu sesuatu yang belum pernah ia hadapi.

"Siapa namanya?" tanyanya.

“Aska Dirgantara,” jawab asisten itu.

“Dia sering menulis untuk majalah fashion terkenal dan dikenal karena ulasannya yang jujur tapi sering kali tajam.”

Mia pernah mendengar nama itu. Aska Dirgantara adalah salah satu kritikus paling dihormati di dunia fashion Indonesia. Meski pendapatnya sering kali dianggap sebagai standar keunggulan, ulasannya juga bisa menghancurkan karier seorang desainer muda dalam sekejap.

Mia menarik napas dalam-dalam. Ini adalah tantangan besar, tetapi ia tidak boleh membiarkan ketakutan menghancurkan kepercayaan dirinya.

"Terima kasih sudah memberitahuku," katanya dengan senyum kecil, meski hatinya berdebar kencang.

Waktu terus berjalan, dan akhirnya saatnya Mia memamerkan koleksinya. Jantungnya berdebar kencang saat ia melihat para juri duduk di barisan depan, termasuk Aska Dirgantara yang mengenakan kacamata hitam dan terlihat serius mengamati catwalk. Namun, Mia menenangkan diri, mengingat semua kerja keras dan tekad yang telah membawanya ke titik ini.

Saat koleksi busana Mia mulai diperagakan, sesuatu yang luar biasa terjadi. Para model yang mengenakan gaunnya berjalan dengan anggun di catwalk, dan seluruh ruangan seakan hening. Mia bisa melihat penonton terpukau oleh desain-desainnya yang unik kombinasi antara elemen modern dan tradisional, sesuatu yang benar-benar berbeda dari apa yang biasanya mereka lihat.

Di sudut pandangnya, Mia melihat Aska Dirgantara melepas kacamata hitamnya, menatap koleksi Mia dengan lebih seksama. Ekspresinya masih sulit dibaca, tapi setidaknya, Mia berhasil menarik perhatiannya.

Setelah acara selesai, Mia berdiri di belakang panggung dengan perasaan lega. Ia telah melakukan yang terbaik, dan meski hasilnya belum diketahui, ia bangga dengan pencapaiannya. Saat ia sedang membereskan barang-barangnya, salah satu asisten juri mendekatinya dengan senyum hangat.

“Selamat, Mia,” katanya.

“Koleksimu berhasil mencuri perhatian juri. Kamu diundang untuk berbincang dengan mereka di ruang VIP.”

Mia tertegun. “Dengan juri? Termasuk Aska Dirgantara?”

Asisten itu mengangguk. “Ya, mereka ingin tahu lebih banyak tentang inspirasimu.”

Dengan hati yang berdebar, Mia mengikuti asisten itu menuju ruang VIP. Di dalam, ia melihat juri-juri, termasuk Aska, duduk sambil menunggu. Mia mengambil napas dalam-dalam sebelum masuk dan menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.

Aska Dirgantara, yang duduk di tengah, mengangkat pandangannya.

“Jadi, kamu Mia,” katanya dengan nada rendah namun tegas.

“Koleksimu... menarik.”

Mia merasakan gugup, tapi ia menguatkan diri untuk tersenyum.

“Terima kasih banyak. Saya terinspirasi dari banyak hal, terutama dari budaya lokal dan kombinasi elemen modern yang bisa mencerminkan identitas kita.”

Aska memiringkan kepalanya sedikit.

“Aku jarang melihat desainer muda yang berani mengambil pendekatan itu. Banyak yang memilih mengikuti tren global, tapi kamu… sepertinya punya sesuatu yang berbeda. Apa yang membuatmu yakin ini adalah jalur yang tepat?”

Mia menatap Aska dengan mantap.

“Fashion bagi saya bukan hanya soal mengikuti tren, tapi juga tentang menciptakan sesuatu yang memiliki makna. Saya ingin karya saya bukan hanya terlihat bagus, tapi juga bercerita. Itulah sebabnya saya memadukan unsur-unsur budaya lokal yang saya cintai, dan menggabungkannya dengan elemen yang lebih modern.”

Aska terdiam sesaat, memandangi Mia dengan tatapan yang lebih dalam.

"Ada potensi dalam dirimu, dan aku akan mengamati perjalananmu ke depan. Jangan sampai kamu hanya berhenti di sini."

Mia merasa hatinya melompat. Aska Dirgantara, kritikus yang terkenal tajam itu, tidak hanya menyukai karyanya, tetapi juga memberinya harapan untuk masa depan.

“Terima kasih. Saya akan terus bekerja keras.”

Setelah percakapan itu selesai, Mia keluar dari ruangan dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Hari itu bukan hanya tentang kemenangannya di atas panggung, tetapi juga sebuah pengakuan dari seseorang yang sangat ia hormati di industri ini.

Sore itu, saat ia akhirnya kembali ke hotel, Mia mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada ibunya.

“Acara berjalan lancar, Bu. Aku bertemu dengan beberapa juri, termasuk Aska Dirgantara. Dia menyukai koleksiku dan mengatakan ada potensi. Terima kasih sudah mendukungku. Aku sangat menghargainya.”

Tak lama kemudian, pesan balasan masuk.

“Ibu bangga padamu. Teruslah berjuang, Mia.”

Mia tersenyum, hatinya penuh dengan kehangatan. Mimpinya kini bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang keluarganya. Dengan semangat baru, ia siap menghadapi tantangan berikutnya. Cahaya di ujung pita itu kini bersinar lebih terang daripada sebelumnya, dan Mia tahu bahwa masa depannya akan dipenuhi dengan lebih banyak cahaya dan harapan.

Cahaya Di Ujung PitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang