Setelah acara fashion di ibukota, Mia mendapatkan lebih banyak undangan dan kolaborasi. Nama Mia mulai dikenal, dan ia semakin sibuk dengan berbagai proyek. Namun, di tengah kesibukan itu, Mia sering merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Kariernya mulai naik, hubungan dengan ibunya berangsur membaik, tetapi Mia menyadari bahwa ia hampir tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi.
Sore itu, Mia sedang berada di sebuah kafe kecil di sudut kota untuk bertemu dengan seorang klien. Ia ingin membahas desain baru untuk koleksi berikutnya. Saat ia sedang menunggu, ia memeriksa sketsa-sketsa yang ada di laptopnya sambil menyeruput kopi. Suara pintu kafe terbuka, dan seorang pria masuk. Mia tidak memperhatikannya sampai pria itu mendekat ke mejanya dan menyapa.
"Permisi, apakah kamu Mia?" Suara itu terdengar ramah namun tegas.
Mia menengadah dan melihat seorang pria yang tinggi, berpenampilan rapi, dan tampak elegan dalam balutan kemeja putih dan blazer hitam. Wajahnya tampak familiar, tetapi Mia tidak bisa langsung mengenalinya.
"Ya, saya Mia. Anda...?"
"Arga," jawab pria itu sambil tersenyum.
"Aku baru saja menghadiri salah satu acara fashion di mana koleksimu dipamerkan. Aku terkesan dengan desainmu. Kebetulan aku juga bekerja di industri fashion, sebagai fotografer."
Mia tersenyum, sedikit terkejut.
"Oh, terima kasih. Jadi, Anda bekerja di bidang fashion juga? Apa yang Anda pikirkan tentang koleksiku?"
Arga duduk di kursi di depannya dengan nyaman.
"Sebenarnya, aku tidak hanya terkesan, tapi juga tertarik untuk bekerja sama. Fotografi fashion adalah passion-ku, dan aku bisa melihat bahwa desainmu punya potensi besar untuk dipotret dengan cara yang lebih kreatif."
Mia menatap pria itu lebih dalam, berusaha menangkap maksud dari setiap kata yang diucapkannya. Arga tampak serius namun tetap santai, seolah-olah ia tahu cara membuat orang merasa nyaman.
"Itu tawaran yang menarik," jawab Mia akhirnya.
"Aku sedang mencari kolaborator yang bisa menangkap esensi dari desain-desainku. Apakah kamu punya portfolio yang bisa aku lihat?"
"Tentu," jawab Arga sambil membuka laptopnya.
"Aku baru-baru ini melakukan pemotretan untuk beberapa desainer terkenal, dan aku selalu berusaha untuk menangkap cerita di balik setiap busana yang mereka buat."
Mia melihat beberapa foto di layar Arga. Hasil karyanya sangat mengesankan. Setiap gambar tidak hanya memamerkan busana, tetapi juga berhasil menggambarkan emosi dan cerita di balik desain tersebut. Mia bisa merasakan bahwa Arga punya mata yang tajam dan estetika yang kuat.
"Aku suka gayamu," kata Mia setelah melihat beberapa foto.
"Kamu benar-benar menangkap esensi dari desain. Aku bisa membayangkan karyaku dipotret dengan caramu."
"Terima kasih," jawab Arga dengan senyum lebar.
"Kebetulan aku sedang mencari desainer muda berbakat untuk proyek kolaborasi berikutnya. Aku pikir kita bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa bersama-sama."
Mia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam pertemuan ini. Tidak hanya soal bisnis atau pekerjaan, tetapi ada koneksi yang lebih dalam antara mereka. Ia tidak bisa mengingkari bahwa ada perasaan nyaman dan tertarik pada Arga, meskipun baru pertama kali bertemu. Arga tampak berbeda dari orang-orang lain yang pernah Mia temui di dunia fashion ia bukan hanya karismatik, tetapi juga benar-benar memahami seninya.
Setelah beberapa saat berbicara tentang pekerjaan, Mia memberanikan diri untuk bertanya,
“Apa yang membuatmu tertarik bekerja di dunia fashion? Maksudku, tidak banyak fotografer yang fokus di bidang ini dengan pendekatan seperti kamu.”
Arga tersenyum kecil, seolah mengingat sesuatu.
"Aku selalu tertarik pada cara orang mengekspresikan diri mereka melalui pakaian. Fashion bagi banyak orang mungkin hanya tentang penampilan, tapi bagiku, itu adalah cara untuk menceritakan sebuah kisah. Setiap desain punya cerita di baliknya, dan aku ingin menangkap cerita itu dalam fotoku."
Mia tersentuh dengan jawabannya.
“Itu sangat mirip dengan cara aku melihat fashion. Aku tidak pernah hanya merancang pakaian. Bagiku, setiap desain punya makna yang mendalam.”
Arga mengangguk.
"Aku bisa merasakannya dari koleksimu. Itu sebabnya aku tertarik untuk bekerja sama denganmu. Aku yakin kita bisa menciptakan sesuatu yang berbeda dan kuat."
Setelah percakapan panjang, Mia merasa lebih dekat dengan Arga. Mereka sepakat untuk memulai proyek kolaborasi dalam waktu dekat, tetapi Mia tahu bahwa pertemuan ini bukan hanya soal kerja. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar urusan profesional. Saat mereka berpisah di depan kafe, Arga sempat menatap Mia sejenak sebelum berkata,
“Aku senang bertemu denganmu, Mia. Ini bukan hanya tentang pekerjaan aku benar-benar merasa kita akan membuat sesuatu yang luar biasa.”
Mia merasakan hatinya berdebar, tetapi ia tersenyum lembut.
"Aku juga merasa begitu. Sampai jumpa, Arga."
Arga melambaikan tangan, lalu berjalan pergi. Mia menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pertemuan itu tidak hanya membuka peluang karier baru, tetapi mungkin juga pintu untuk sesuatu yang lebih... pribadi.
Mia menatap ke arah langit senja, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa kehidupannya sedang menuju ke arah yang benar baik secara profesional maupun pribadi. Ia tersenyum kecil pada dirinya sendiri, mengetahui bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan mungkin Arga akan menjadi bagian penting dari cerita berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Ujung Pita
Teen FictionPengen tau kisahnya?? staytune 🤍 jangan lupa kasih vote, dan komentar kalian dengan bahasa sebaik mungkin ya. baik berupa kritik maupun saran. thankyou all (・ิω・ิ)ノ