Beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang terus menerus. Arga tetap berada di samping Mia sepanjang waktu, menolak untuk meninggalkan rumah sakit. Setiap detik terasa penuh dengan harapan dan kekhawatiran. Para dokter melakukan yang terbaik untuk merawat Mia, tetapi kondisinya yang masih koma membuat semua orang berada di ambang kecemasan.
Namun, pada suatu pagi yang cerah, setelah malam-malam panjang yang penuh kecemasan, keajaiban akhirnya terjadi. Mia perlahan-lahan mulai membuka matanya. Gerakan kecil itu segera menarik perhatian perawat yang sedang memeriksa vitalnya, dan mereka dengan cepat memanggil dokter serta memberi tahu Arga bahwa Mia akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran.
Arga, yang setia menunggu di ruang tunggu, segera berlari ke kamar Mia ketika mendengar kabar itu. Jantungnya berdetak cepat, dipenuhi harapan bahwa Mia akan baik-baik saja.
Saat Arga masuk ke kamar, ia melihat Mia yang masih tampak lemah, terbaring dengan tatapan kosong di langit-langit. Mata mereka bertemu, dan dengan penuh perasaan, Arga segera menghampirinya.
"Mia, kamu sudah bangun," ucap Arga lembut, suaranya gemetar karena emosinya yang tak tertahankan.
Ia berjongkok di samping tempat tidur, menggenggam tangan Mia dengan lembut.
Namun, yang ia harapkan sebagai momen bahagia segera berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Mia menatap Arga dengan kebingungan, dan ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu yang tak terduga ketiadaan pengakuan.
Mia mengernyit sedikit, berusaha memahami situasi di sekelilingnya. Suaranya keluar pelan, serak, dan lemah,
"Siapa kamu? Di mana aku?"
Arga merasa seperti dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Napasnya tertahan saat kata-kata itu meluncur dari bibir Mia. Dia tidak ingat. Mia tidak mengenalnya.
Dokter segera datang dan meminta Arga untuk menunggu di luar sementara mereka melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada Mia. Perasaan cemas dan putus asa melingkupi Arga. Dokter berbicara kepadanya setelahnya, menjelaskan bahwa Mia mengalami amnesia, sebuah hilang ingatan yang bisa disebabkan oleh cedera kepala akibat kecelakaan.
"Apakah ingatannya akan kembali?" tanya Arga dengan suara serak.
"Sulit untuk diprediksi," jawab dokter dengan hati-hati.
"Amnesia akibat trauma bisa bersifat sementara, tetapi bisa juga menjadi permanen. Kita perlu memberinya waktu dan perawatan yang tepat."
Arga berdiri di lorong rumah sakit, merasa terhempas. Semua kenangan yang mereka bagi, semua momen penting yang telah mereka lalui bersama, kini hilang dalam pikiran Mia. Seolah-olah hubungan mereka, semua perasaan yang berkembang, telah terhapus begitu saja oleh kecelakaan itu.
---
Beberapa hari setelah Mia sadar, Arga berusaha keras untuk tetap optimis. Setiap kali ia mengunjungi Mia di kamar rumah sakit, ia mencoba berbicara dengannya, berharap bisa memicu ingatannya. Namun, Mia selalu menatapnya dengan kebingungan, seolah-olah ia adalah orang asing yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya.
Mia merasa tertekan. Dia tidak hanya kehilangan ingatannya tentang Arga, tetapi juga bagian besar dari hidupnya. Setiap kali dia melihat foto-foto, mendengar cerita-cerita tentang dirinya, Mia merasa kosong, seolah-olah dia hidup dalam kehidupan orang lain.
Suatu hari, ketika Arga mencoba berbicara dengannya tentang masa lalu mereka tentang bagaimana mereka bekerja bersama, bagaimana hubungan mereka berkembang Mia menggelengkan kepalanya, matanya dipenuhi kebingungan dan frustrasi.
“Aku tidak ingat apa pun dari semua itu, Arga. Aku... aku merasa seperti aku harus mengenalmu, tapi aku tidak merasakannya. Aku hanya... merasa kosong.”
Arga merasakan perih di hatinya mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu Mia tidak bersalah. Ia tahu bahwa ini bukan salah Mia, tetapi tetap saja, itu menyakitkan. Meski begitu, ia berusaha untuk tetap bersikap lembut dan penuh pengertian.
"Aku akan ada di sini untukmu, Mia. Tidak peduli berapa lama waktu yang kamu butuhkan."
Namun, Mia tampak tertekan. Kehilangan ingatannya membuatnya merasa terisolasi, dan meskipun Arga berusaha keras untuk mendekatkan diri, Mia merasa sulit untuk mengatasi perasaannya. Pada satu titik, Mia dengan jujur berkata kepada Arga,
"Aku butuh waktu. Aku butuh ruang untuk menemukan siapa diriku lagi. Semuanya terlalu cepat dan terlalu banyak untuk diproses."
Arga tahu Mia butuh waktu dan ruang, tetapi perasaan kehilangan yang dalam tetap menghantuinya. Mereka telah begitu dekat, dan sekarang seolah-olah mereka harus memulai dari awal lagi tetapi kali ini, tanpa fondasi kenangan yang dulu mengikat mereka.
---
Hari-hari berikutnya penuh dengan ketidakpastian. Mia berjuang untuk menemukan identitasnya kembali, sementara Arga mencoba menyeimbangkan perasaannya sendiri, antara harapan dan realitas yang menyakitkan. Meski begitu, Arga tetap hadir, berharap suatu hari nanti, Mia akan mengingat segalanya atau setidaknya, mungkin mereka bisa menciptakan kenangan baru bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Ujung Pita
Teen FictionPengen tau kisahnya?? staytune 🤍 jangan lupa kasih vote, dan komentar kalian dengan bahasa sebaik mungkin ya. baik berupa kritik maupun saran. thankyou all (・ิω・ิ)ノ