Beberapa hari setelah pertemuan dengan Tania, Mia merasakan tekanan emosional yang semakin berat. Meski ingatannya tentang Arga masih samar, perasaan hatinya yang tertinggal terasa semakin kuat. Ia mulai mengingat momen-momen indah yang mereka lalui, tetapi kabar tentang hubungan Arga dengan Tania selalu menghantuinya.
Mia memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Tania. Ia menghubungi teman-teman di studio, berharap mendapatkan informasi yang lebih jelas. Dari beberapa obrolan, Mia mengetahui bahwa Tania bukan hanya dekat dengan Arga, tetapi juga memiliki reputasi manipulatif di kalangan rekan-rekan kerja. Ini membuat Mia merasa semakin waspada.
Suatu malam, Mia tidak bisa tidur. Dia merasa terjebak antara rasa cemburu dan kerinduan. Tiba-tiba, ia teringat tentang catatan yang pernah ia tulis mengenai perasaannya terhadap Arga. Ia menemukan buku catatannya dan mulai membaca kembali halaman-halaman yang penuh dengan kenangan dan harapan. Catatan itu menyadarkannya betapa dalamnya perasaannya terhadap Arga dan betapa besar harapannya untuk bisa kembali bersamanya.
Mia merasa semakin terinspirasi untuk menghadapi situasi ini. Dia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Arga dan menanyakan tentang Tania. Meskipun masih ada rasa takut akan penolakan, Mia tahu bahwa ia tidak bisa lagi membiarkan rumor dan permainan Tania mengontrol hidupnya.
Beberapa hari kemudian, Mia pergi ke studio dengan penuh tekad. Ia tahu bahwa Arga sedang bekerja lembur untuk proyek internasional, jadi ia berencana untuk menunggunya setelah jam kerja. Ketika Arga keluar, wajahnya terlihat lelah namun penuh semangat. Melihat Mia di sana, senyumnya yang khas langsung muncul.
“Mia, apa kabar?” tanya Arga, terlihat terkejut sekaligus senang.
Mia merasakan jantungnya berdebar. “Aku baik, Arga. Aku perlu bicara denganmu.”
Mereka berjalan menuju taman di dekat studio, tempat yang dulunya sering mereka kunjungi bersama. Mia berusaha menenangkan dirinya saat duduk di bangku taman.
“Arga, aku tahu tentang Tania. Aku dengar bahwa kamu berpacaran dengannya,” ungkap Mia, mencoba terdengar tenang.
Arga terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan kebingungan.
“Mia, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Tania memang berusaha mendekatiku, tapi aku tidak tertarik padanya. Aku... aku masih memikirkan kamu.”
Mendengar kata-kata itu, Mia merasa ada harapan baru yang tumbuh dalam hatinya.
“Tapi, kenapa dia terlihat begitu dekat denganmu? Semua orang di studio berpikir kalian berpacaran.”
Arga menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang. Tania memang mencoba bermain-main dengan situasi ini. Dia ingin membuatmu merasa buruk tentang dirimu dan hubungan kita.”
Mia merasa marah sekaligus bingung.
“Tapi kenapa? Apa tujuannya?”
“Tania hanya ingin membuatmu menjauh dari aku,” jawab Arga tegas.
“Aku tidak ingin kamu berpikir bahwa aku sudah melupakanmu. Aku ingin kita bisa berbicara lagi, seperti dulu.”
Mia merasakan perasaannya campur aduk. Kekecewaan dan harapan beradu di dalam hatinya.
“Tapi, Arga... aku masih merasa bingung dengan semuanya. Ketika aku mendengar tentang Tania, aku merasa sakit.”
Arga menatap Mia dengan serius.
“Aku paham. Aku tidak ingin membuatmu terluka lebih jauh. Mari kita jernihkan semuanya. Kita bisa mulai lagi, tanpa Tania. Hanya kita.”
Mia merasa terharu. Dia menginginkan kesempatan kedua, tetapi ketakutan untuk terluka kembali masih membayangi.
“Aku ingin, Arga. Tapi aku juga butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”
Arga mengangguk.
“Aku menghargai itu. Aku akan menunggu, Mia. Aku percaya kita bisa melewati ini bersama.”
Dengan langkah hati-hati, Mia mulai merasa ada sinar harapan yang muncul di antara mereka. Meski masih ada tantangan yang harus dihadapi, ia merasa lebih percaya diri untuk menghadapi Tania dan rumor yang menyebar di studio.
Beberapa hari kemudian, Mia memutuskan untuk menghadapi Tania secara langsung. Dia ingin membuktikan bahwa ia bukan wanita yang lemah dan bahwa hubungannya dengan Arga tidak akan dipengaruhi oleh permainan Tania.
Mia mencari Tania di studio dan menemukannya di ruang kerja. Tania terlihat sedang bercanda dengan beberapa rekan kerja. Dengan langkah mantap, Mia menghampiri mereka.
“Tania, bisa kita bicara?” ujar Mia dengan tegas.
Tania menoleh, terlihat terkejut dengan kehadiran Mia.
“Oh, Mia. Tentu saja, ada apa?”
Mia berusaha menahan emosinya.
“Aku tahu tentang semua yang kamu lakukan untuk membuatku jauh dari Arga. Itu tidak adil dan tidak etis.”
Tania tersenyum sinis.
“Oh, sayang. Aku hanya melakukan apa yang perlu untuk menjaga hubungan kami. Lagipula, Arga dan aku sangat bahagia bersama.”
Mia tidak terpengaruh oleh senyum Tania.
“Kau tahu bahwa itu tidak benar. Arga masih memikirkan aku. Dan aku tidak akan membiarkanmu merusak apa yang kami miliki.”
Tania mendecak.
“Kamu hanya ingin kembali ke hidupnya, kan? Kenyataan yang harus kamu terima adalah Arga sekarang bersamaku. Tidak ada ruang untukmu di sini.”
Mia merasa marah.
“Jika dia benar-benar bahagia bersamamu, maka biarkan dia pergi. Tetapi aku akan melindungi apa yang menjadi hakku.”
Percakapan itu berakhir dengan ketegangan, tetapi Mia merasa lebih kuat setelah menghadapinya. Dia tahu bahwa meskipun banyak rintangan yang harus dihadapi, keputusannya untuk berdiri teguh pada perasaannya adalah langkah pertama menuju kembalinya hubungan mereka yang telah hancur.
Mia kembali ke rumah dengan tekad baru, bertekad untuk memperjuangkan hubungannya dengan Arga, tanpa membiarkan siapa pun termasuk Tania menghancurkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Ujung Pita
Teen FictionPengen tau kisahnya?? staytune 🤍 jangan lupa kasih vote, dan komentar kalian dengan bahasa sebaik mungkin ya. baik berupa kritik maupun saran. thankyou all (・ิω・ิ)ノ