39

888 128 49
                                    

Sabrina tidak pernah bisa membayangkannya.

Mereka baru saja berciuman—cukup panas, dan sekarang mereka menikmati malam dengan duduk di pinggir kolam renang. Baik Cameron dan Sabrina, keduanya sama-sama mencemplungkan kaki mereka ke dalam kolam dingin, dan memandangi langit malam sembari berbincang.

"You tell me again. Siapa yang akan mewawancarai kamu?"

Cameron menahan tawanya. Sabrina jelas-jelas bisa melihatnya. "Jakarta Times memang ingin mewawancaraiku sejak lama. Well, I refused. Tetapi saat Zara meraih posisinya, dia memintaku melakukan interview itu. Yeah, I said, why not. Lalu, dua hari yang lalu jadwalnya muncul. Awalnya, Zara Francis yang akan mewawancaraiku."

Sabrina tidak dapat membayangkan jika Zara Francis akan mewawancarai Cameron di kantor pria itu. "Tidak jadi, ya?" tanyanya hati-hati. "Bukan Zara?"

"Iya," Cameron mengangguk. "Jadwalnya tetap. Tetapi bukan Zara yang akan mewawancarai aku. Temannya. I don't remember their names though," jawab Cameron.

"Pasti akan aneh jika Zara tiba-tiba muncul di kantor kamu, setelah berita—you know," Sabrina ikut tertawa setelahnya. "Good luck with that, then."

"I know." Pria itu terkekeh. Senyumnya manis. Sabrina ingin terus menatapnya. Tetapi, malam semakin larut, dan samar-samar, Sabrina bisa mendengar orang-orang dari kejauhan. Sabrina melirik ponsel yang terletak di sebelahnya. "Ponsel aku mati. Aku harus mengecasnya."

"Lagipula sudah malam, Rin. Sebaiknya kamu kembali. Dan, untuk memastikan, kamu benar-benar tidak mau ikut denganku?"

Sabrina sudah bangkit dari duduknya. Mengenakan kembali sandal selopnya. "Iyalah. Mereka akan curiga kalau aku tiba-tiba menghilang dari kursi pesawatku dan menaiki pesawat kamu! And Cameron, ini hanya penerbangan yang singkat. Kamu tetap naik pesawat pribadi kamu. Jangan membuat kehebohan."

Sabrina bisa merasakan jantungnya kembali berdetak dengan cepat saat pria itu bangkit. Memperlihatkan dua kancing kemeja yang terbuka, dan tubuhnya yang sangat padat di baliknya. Pria itu menampilkan senyum paling manis, membuat lesung pipinya begitu menawan. Sabrina nyaris lupa untuk mengerjapkan mata.

Cameron-nya tertawa renyah. "Baiklah, Little Orange. See you tomorrow, then."

"Oke."

"Good night, Rin."

Sabrina tidak menjawab karena ia sudah berbalik.

***

"Sir!" Jack Webster tidak pernah sepanik ini sebelumnya. Sesaat setelah pesawat pribadi Harris Global yang digunakan oleh Cameron William Harris mendarat di landasan pacu, Jack sudah berlari terbirit-birit untuk menjemputnya.

Jack belum mengatakan informasi yang diterimanya. Dia hanya mempersilakan CEO Harris Global tersebut untuk memasuki mobil yang akan langsung membawanya ke kantor. Jadwal pria itu untuk diwawancara oleh Jakarta Times sudah semakin dekat, dan mereka harus bergegas.

Cameron tiba di Jakarta pukul 10.34 pagi.

Jalanan Kota Jakarta sangat padat, macet. Dan mobil Limosin itu terjebak selama beberapa saat. Cameron tengah mengenakan kemeja putih dan jas berwarna biru dongker yang telah disiapkan oleh sekretarisnya, saat Cameron menyadari bahwa Jack mencuri-curi pandang ke arahnya sejak tadi. Dengan tatapan yang gelisah.

"Just say it, Jack. Apa yang membuat kamu begitu gelisah pagi ini?" Cameron tahu nadanya nyaris terdengar riang. Tetapi toh, Jack akhirnya berbalik dan menoleh kepadanya.

Gugup, Jack akhirnya menelan ludah. "Sir, ada berita," Pria itu sangat kesulitan berbicara.

"Apa?"

"Sir, there's a news. About you. Tentang kehidupan pribadi anda, lebih spesifiknya. Dan juga ada sebuah foto, Pak."

Mr. Harris | Byeon WooseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang