37

1K 142 59
                                    

"Tunggu, siapa yang dibenamkan hingga lima jam?" Cameron bertanya.

Sabrina tidak dapat menahan tawanya juga. Ia menceritakan kegiatannya selama hampir dua minggu syuting di Bali. Semuanya tentu saja berhubungan dengan pembuatan film dokumenter yang telah dijadwalkan selama satu tahun ini. "Iya. Siapa, ya? Mark? Aku lupa. Dia hanya pasrah saat anggota lainnya menyeret dia sampai dibenamkan di dalam pasir," jawab Sabrina riang.

Cameron menatap tidak percaya, sangat tertarik dengan cerita yang satu ini. "That must be...sangat menyebalkan."

"Tidak juga," ucap Sabrina. "He seems fine with it. Tidak marah."

"Oh really?"

"Ya. Mereka pasti sudah sangat dekat. Like a family. Aku bisa melihatnya."

Cameron mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lima belas tahun, bukan?" Sabrina mengangguk menjawabnya. "Wow, itu waktu yang cukup lama. Tentu saja mereka akan menganggap satu sama lain sebagai keluarga."

"Yes, sangat menyenangkan melihat ikatan mereka."

"Like you and me."

"Hm?"

Cameron tersenyum. Wajahnya yang tidak lagi kecokelatan terlihat bercahaya. Sangat tampan. "Seperti aku dan kamu, ya, 'kan? Berapa lama kita mengenal? Almost twentyfive years? Ah, masih sebentar."

Sabrina menaikkan alisnya. "Wait. Dua puluh lima tahun belum cukup lama?"

Pria itu menyingkirkan gelas jus jeruknya. Kedua matanya kini menatap Sabrina lebih dekat. "Ya. Masih tidak cukup lama. Karena aku berniat selalu bersama dengan kamu, Rin. Aku ingin kamu selalu berada di sisiku. Dua puluh lima tahun? No. I want a thousand years with you. More, perhaps."

Sialan. Detak jantungnya berpacu dengan sangat cepat. Dan Sabrina yakin pipinya pasti sudah merona merah, diakibatkan oleh kata-kata pria itu padanya. Astaga.

Cameron sepertinya belum puas karena pria itu lalu melanjutkan ucapannya, "Aku tidak tahu, dua puluh lima tahun ini berarti seperti apa untuk kamu. For twentyfive years, aku juga telah banyak belajar dari kamu, Rin. And for me, it was the happiest time of my life. Mengenal kamu. Menjadi sahabat kamu. Everything about you selalu bisa membuatku berdebar-debar bahagia. And, my plan is to feel that way selamanya."

Astaga. Astaga. Astaga.

Fokus, Sabrina! "O-oke. Well, karena kamu membahas ini, aku juga berterima kasih pada kamu, Cameron. Twentyfive years," Sabrina tersenyum kecil, menunduk malu. "Kamu selalu mendukung aku. Menyemangati aku, dan mendorong aku untuk bisa mengatakan 'tidak' pada hal-hal yang tidak aku sukai," Sabrina mengatakannya dengan tulus.

Sejenak, Cameron terdiam. Menatap dengan matanya yang berbinar-binar.

"A month ago? Aku tidak begitu ingat. Tapi, Mama menelepon."

Cameron tampak khawatir. "Did she said something bad?"

Sabrina menggeleng karena wajah panik Cameron terlihat begitu polos. "Tidak, bukan. Technically, Mama bertanya mengapa aku dan Kevin memutuskan hubungan kami. Dan, Mama juga menyebut-nyebut Tanuwidjaja Coorporation—" Tidak, Sabrina tidak ingin menangis. Tidak sekarang. Wanita itu menarik napas pelan dan melanjutkan kalimatnya, "Aku membela diri aku. Aku mengatakan pada Mama bahwa aku akan mengambil keputusan aku sendiri mulai sekarang. Aku akan berjuang dengan kaki dan tangan aku. I did my best, untuk mempertahankan apa yang aku inginkan dan impikan."

Tatapan Cameron menghangat.

"Aku...I stand up for myself. Because I remember your words. Last time. Kamu pernah berkata bahwa aku harus membela keinginanku, dan jangan biarkan orang lain mengatur keputusan-keputusanku, meskipun keluargaku sendiri. Terima kasih, sungguh, Cameron."

Mr. Harris | Byeon WooseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang