43

809 122 51
                                    

Tiga hari setelah malam itu, Cameron pulang ke kediaman orangtuanya. Ia disambut oleh adiknya yang ternyata masih berada di Jakarta. Susan Harris mendekapnya dengan sangat erat, lalu mencium pipinya. Sepertinya Ibunya masih menganggap Cameron adalah anak laki-laki berusia lima belas tahun.

"Sibuk sekali CEO Harris Global ini, ya?" Itu suara adiknya, Samuel.

"Shut up. Kenapa kamu berada di sini?"

"Liburan, Cams." Ibunya menjawab.

Setelah itu, mereka lalu duduk bersama di ruang keluarga. Karena kedatangan Cameron bertepatan dengan waktu makan malam, maka mereka memutuskan untuk makan malam bersama. Setelahnya, Samuel pamit untuk pergi bertemu dengan teman-temannya.

"Jadi, Harris Foundation sudah rampung?" tanya Benjamin Harris, Ayahnya.

Cameron menatap dengan percaya diri, "Iya, Papa."

"See? Kamu memang pantas menjadi CEO Harris Global. Aku bangga padamu, Cams."

Cameron tidak dapat menahan senyumnya yang merekah.

Susan Harris lalu menepuk lengannya pelan, "So, the news," ujarnya, sedikit dengan nada menggoda. "Apakah kamu akan menikah dengan Ana?"

"Iya," Cameron menjawab dengan jujur. "Dia setuju."

"Oh really? Mama sangat senang mendengarnya, Cams, sungguh." Susan Harris berkata dengan lembut. "Bagaimana reaksinya saat kamu mengajaknya menikah?"

Ketika mendengar pertanyaan Susan, Cameron tidak dapat menahan tawanya. Ia mengingat wajah Rin yang memerah dan bibirnya yang mengerucut sebal. "Dia marah," jawabnya. "Rin. She's mad at me. Karena wawancaraku dengan Jakarta Times."

Selanjutnya yang terjadi adalah Cameron menceritakan malam ketika Rin datang ke apartemennya dan berteriak dengan kesal setelah melihat hasil wawancaranya. Cameron juga bercerita bagaimana ia akhirnya menyatakan keinginannya untuk menikahi Rin dan wanita itu akhirnya setuju. Susan Harris mendengarkan ceritanya tanpa menyela dan Cameron dapat melihat mata Ibunya berkaca-kaca.

Benjamin juga tidak dapat menahan senyumnya, "You did it."

"Yes," balas Cameron. "Tetapi Rin tidak mau mengadakan pesta pernikahan."

"Maksudnya?"

Sejenak, Cameron menatap ponsel yang terletak di samping lengan kanannya. Layarnya memperlihatkan wajah Sabrina Tanuwidjaja yang tersenyum begitu cantik. Foto itu diambil oleh Cameron delapan tahun yang lalu. Ia mengingat Rin-nya di malam itu. Ia terkekeh, "Menurut Rin, kita tidak perlu menikah dengan dihadiri tamu-tamu. Just sign the legal documents. Just both of us."

Susan melirik pada suaminya, tatapannya penuh arti. "Benarkah? Do you agree?"

"Ya, tentu saja. Anything for her." Cameron menjawab tanpa keraguan. Setelahnya, ia melihat Ayah dan Ibunya saling bertukar pandang, dan jantungnya mendadak berdetak lebih cepat. "Apa Papa dan Mama keberatan? Kalau iya, aku akan—"

Ayahnya menggeleng, "Tentu tidak, Nak. Semua itu keputusan kalian. If you're happy, kami juga akan bahagia." Benjamin Harris mengangguk padanya dengan senyum merekah. Begitu pun Susan Harris. "Well, kalau begitu congratulation, Son. We're so proud of you."

"Be happy, Cameron."

"Tentu, Mama. Thank you."

***

Cameron William Harris : Jack sedang menyiapkan dokumennya.

Cameron William Harris : Rin, did you really have to go to Singapore?

Mr. Harris | Byeon WooseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang