3

1.7K 158 25
                                    

"Mama." Keesokan harinya, Cameron telah tiba di kediaman tetap kedua orang tuanya di Connecticut. Rumah besar yang didominasi warna hitam dan putih itu menyambut kedatangannya dengan suasana yang sibuk. Cameron memeluk Susan Harris dengan erat.

Susan mencium kening anak laki-lakinya sembari tersenyum lemah. Wajahnya terlihat kelelahan karena menjaga suaminya semalaman. "Cameron. Kamu sudah makan?"

Cameron mengangguk. "Di mana Papa?"

"Kita memindahkan rumah sakitnya di sini. Papa kamu yang keras kepala tidak mau dirawat di rumah sakit," jawab Susan. Wanita itu lalu membawa Cameron ke dalam dekapannya sekali lagi. "Istirahatlah terlebih dahulu, nanti kamu bisa menemui Papa."

"Apa Sam ada di sini?" tanya Cameron pada Susan, Mamanya.

Susan menggeleng, "Dia masih di New York, sayang. Adikmu sedang melaksanakan ujian yang tidak dapat ditinggalkan. Dia akan sampai di sini lusa."

"Baiklah."

Pria itu lalu mengekor di balik Susan ke dalam kamar utama Benjamin Harris. Ayahnya tengah terbaring dengan selang infus di tangan kanannya. Tubuhnya jauh lebih kurus dibandingkan terakhir kali Cameron menemuinya. Ada selang oksigen di hidung Ayahnya untuk membantunya bernapas.

Napas Cameron tercekat. Dia sangat khawatir.

Susan yang melihat perubahan ekspresi anak pertamanya lantas menepuk pundaknya pelan, "Tidak perlu khawatir. Dokter Frans mengatakan bahwa itu hanya demam biasa. Papa terlalu banyak bekerja, sehingga tubuhnya lelah. Untuk sementara waktu, dia akan beristirahat total."

"Apa Papa sangat sibuk akhir-akhir ini?" Cameron berjalan mendekati ranjang Ayahnya.

"Ya. Ingat proyek Harris Indonesia? Papa bekerja sangat keras membangunnya. Dia berkali-kali menemui para pemegang saham, melakukan meeting yang sangat penting di New York, mengumpulkan investor, dan semua itu membuatnya kelelahan," balas Susan.

Namun, bukannya memperlihatkan wajah khwatir, wanita itu justru tersenyum. "Tapi pada akhirnya Papa berhasil, sayang. Indonesia akan memiliki Harris Global Entertaintment."

"Maksud Mama?" tanya Cameron, belum mengerti.

Susan terkekeh, "Bulan depan, Harris Global Ent. Indonesia telah rampung dibangun. Dan tentunya akan segera beroperasi," balas Susan. "Papamu telah bekerja dengan sangat keras melancarkan bisnisnya."

"Cams, apakah itu suaramu?" Benjamin bertanya.

Cameron mendekat, menggenggam tangan Ayahnya. "Papa, ya ini Cameron."

"Bagaimana kuliahmu?"

Cameron tersenyum, "Baik-baik saja tentunya. Papa seharusnya mendengarkan Mama. Jangan bekerja terlalu keras."

Benjamin tertawa. Benjamin Harris, laki-laki dengan aura yang berwibawa itu tersenyum lebar. Meski usianya kini tak lagi muda, akan tetapi pria sepertinya tidak mudah kehilangan karismanya. Ia menatap anaknya dengan lembut, "So I guess, kamu sudah bertemu dengan Ana. Kamu sudah menyampaikan salam 'kan? Apa kamu juga membelikannya oleh-oleh?"

Cameron menatap Ayahnya dengan hangat, "Ya."

"Bagaimana kabarnya?"

Mr. Harris | Byeon WooseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang