35

780 98 17
                                    

Sabrina tidak bisa tidur.

Tidak setelah ia mendengar ucapan Cameron dan Nora semalam.

"What should I do?" Sabrina menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan pelan. Sabrina mengulanginya berkali-kali hingga ia menemukan ketenangan.

Ucapan Nora ada benarnya. Sangat benar, malah. Sejak dulu, Sabrina telah menyadari bahwa ia tertarik pada sahabatnya sendiri—Cameron William Harris. Sabrina tidak tahu bagaimana caranya mengatakan perasaannya dengan kata-kata, maka ia menggunakan indranya yang lain. Mata. Sabrina menyadari tatapannya pada Cameron mulai berubah. Penuh cinta, kata Nora semalam. Dan Sabrina mengakuinya.

Berharap Cameron akan menyadarinya. Tetapi ternyata tidak.

Sabrina tidak pernah mengungkapkan semua ini pada pria itu. Sabrina menyimpannya rapat-rapat dalam hatinya. Entahlah, mungkin dia takut hubungan persahabatan mereka akan hancur jika Sabrina mengatakannya. Sabrina terlalu takut kehilangan. Bagaimana jika ia menyatakan perasaannya dan Cameron pergi? Menolaknya? Wanita itu akan kehilangan seseorang yang dicintai sekaligus sahabatnya dalam semalam. Sabrina tidak mau hal itu.

Wanita itu memilih diam. Ketika Cameron berpacaran saat SMA, Sabrina tetap memilih mencintai dalam diam. Hingga malam itu. Ketika pria itu menciumnya. Ketika sentuhan pria itu diberikan padanya. Sabrina tidak bisa menolaknya. Ia juga menginginkan hal yang sama. Sex is always the problem. Sabrina tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia menginginkan hal itu. Bercinta dengan Cameron, berada di sisinya, dan menjadi istrinya. Sabrina membayangkannya. Tetapi ia tidak pernah mengungkapkannya.

Hingga Zara Francis, sahabatnya, mencium pria itu.

Sabrina marah. Ingin marah, tetapi dia tidak berdaya. Dia bukan siapa-siapa. Sabrina tetap memilih menyembunyikan perasaannya hingga Cameron dan Zara bertunangan. Dia terlalu takut. Takut menghadapi konsekuensi perasaannya. Di sisi lain, Sabrina tahu dirinya tidak layak. Sabrina merasa kecil. Dia anak pertama Tanuwidjaja yang mengecewakan. Ibunya berulang kali mengatakan bahwa Sabrina gagal, dan memalukan. Perkataan-perkataan itu selalu membuat Sabrina merasa tidak layak dan semakin tidak percaya diri.

Tetapi, sekarang, Sabrina tersadar. Bahwa Tuhan memberikannya kesempatan. Pernikahan itu batal. Sabrina tidak lagi terikat dalam pertunangan apapun. Dia bebas. Bebas menentukan pilihannya.

Tetapi, haruskah ia mengakuinya pada Cameron sekarang?

***

Nora mengerjapkan mata berkali-kali. Ternyata sudah pagi. Matahari mulai naik dan menyemburkan cahaya paginya melalui celah jendela. Dengan sisa-sisa nyawanya yang belum terkumpul, Nora memaksa untuk membuka kedua mata.

Semalam, ia dan Sabrina bercerita hingga nyaris pagi.

Pukul berapa ini? Sembilan pagi.

"Ana?" Nora menyadari temannya sudah tidak ada di ranjangnya. Namun, Nora mendengar suara pancuran air di kamar mandi. "Ana, kamu sedang mandi? Cepat, ya!"

Samar, suara Sabrina menjawab, "Ya."

Nora Halim memilih untuk membereskan tempat mereka menginap. Ia mengenakan kacamatanya dan mulai merapikan ranjangnya. Saat itu, Nora tidak mendengar apapun karena ia menyalakan musik. Namun, beberapa detik setelahnya, Nora mendengar suara ketukan pintu. Nora membukanya. Dan sangat terkejut karenanya. "P-P-Pak H-Harris?" tanyanya terbata-bata.

Cameron William Harris berdiri di depan pintu kamarnya dengan Sabrina. Mengenakan pakaian santai, bukan dalam balutan jas termahal di dunia yang seakan-akan memang diciptakan untuknya. Pria itu mengenakan celana panjang hitam longgar dengan kaus putih. Tersenyum menyapanya. "Nora. Apa Rin sudah bangun?"

Mr. Harris | Byeon WooseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang