7

1.3K 141 17
                                    

Ia senang bertemu dengannya.

Ia mengharapkan mereka akan berbincang tentang banyak hal.

Sabrina tentu merindukan pria itu, sangat.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Sabrina mengerang frustasi. Cameron William Harris—pria itu—sahabatnya yang kedatangannya telah ia tunggu-tunggu selama berbulan-bulan, telah meninggalkan apartemennya tiga puluh menit yang lalu.

Dirinya tidak tersenyum pada Cameron.

Dia tidak mengantarkan Cameron.

Dia mengusir sahabatnya.

"Argh! Sabrina bodoh!" Wanita itu merutuki dirinya sendiri. Ia masih berada di tempatnya semula, di atas karpet cokelat pastel yang lembut. Memandang kosong ke sekelilingnya. Apartemennya sepi.

Dan perasaan itu tiba-tiba datang. Menyesal. Sabrina menangis semalaman memikirkan tindakan bodohnya.

Sebenarnya, wanita itu tahu apa yang menyebabkan dirinya bersikap sangat bodoh, sangat menyebalkan, dan sangat kejam terhadap Cameron. Sabrina tidak senang melihat pria itu berbincang dengan sahabatnya, Zara. Sabrina tidak suka melihat senyum tulus pria itu diperlihatkan pada Zara. Sabrina tidak suka melihat mereka berduaan saja di sofanya.

Wanita itu tidak menyukai ide Zara yang duduk di sofa miliknya—tempatnya biasa duduk dan mengobrol dengan Cameron.

Sabrina tidak menyukai fakta bahwa wanita pertama yang ditemui oleh Cameron William Harris bukan dirinya.

Tetapi ia tidak mau mengakuinya.

"Aku sangat merindukanmu, bodoh! Aku hanya..." Malam itu, Sabrina tidur dengan mata sembab. Ia menangis semalaman. Di kamarnya. Sendirian, memikirkan Cameron. Ia ingin memeluk pria itu, bertanya kabarnya, dan ia ingin mengobrol.

Sangat ingin.

***

Cameron pulang ke apartemennya.

Malam itu, ia tidak bisa tidur.

Semalaman, Cameron memikirkan Rin-nya—wanita yang tiba-tiba bersikap sangat aneh, sangat dingin, dan sangat menyebalkan. Wanita yang tidak bisa mengutarakan perasaannya dengan baik. Sahabatnya, wanita yang sangat tertutup.

"Jack, apakah Papa berada di Connecticut?" tanyanya pada Jack, sekretaris pribadinya.

Jack Webster lalu menjawab, "Tidak, Sir. Pak Benjamin Harris sedang berada di Boston untuk melakukan rapat pembelian studio film."

Cameron mengangguk kecil, "Baiklah, apakah pesawatku bisa digunakan?"

"Pak?" Suara Jack terdengar terkejut di telepon.

"Hari ini, apakah bisa terbang ke Connecticut?"

"Yes, Sir. Of course. Jam berapa Anda akan meninggalkan Cambridge?"

Cameron menghela napas lelah. Napasnya terasa tercekat. Wanita itu tidak menginginkan dia datang. "Malam ini."

***

Mr. Harris | Byeon WooseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang