Bab 43 - Kenangan

419 73 40
                                    

Mata Fajar berkaca-kaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Fajar berkaca-kaca. Hatinya ikut remuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang dia paham mengapa Lintang tadi tampak rikuh dan tidak nyaman.

"Bagaimana kalau seandainya Fathiya tak pergi? Bagaimana jika Fathiya sampai hamil?" Kali ini pertanyaan pedih terdengar di sana.

"Tinggal menikahkan Raka dengannya, kan?" Tanti menjawab lirih.

Genggaman Fajar menguat membuat tanda merah di ujung kukunya. Suara mengaduh Tanti diabaikanya. "Kamu pikir semua masalah selesai kalau Raka dan Fathiya menikah? Aku memang bukan ahli agama, tapi satu hal yang ditekankan ayahku sejak dulu. Jangan berhubungan intim sebelum menikah!"

Tanti masih belum mampu membantah. Setiap ucapan Fajar tampak menekannya.

"Selain berdosa besar, anak yang dihasilkan tidak akan bisa dinasabkan kepada Raka. Aku tak mau punya cucu yang tidak bisa menjadi cucuku. Dia tidak akan mendapat waris ayahnya, juga tidak akan bisa dinikahkan oleh ayahnya sendiri. Selamanya anak itu harus menanggung malu karena lahir sebagai anak hasil hubungan tidak sah. Apa kamu mau cucu pertama kita menanggung itu semua?!"

Tanti menggeleng lirih. Sekali lagi dia menghilang. "A-aku hanya ingin Fathiya bahagia. Aku nggak ingin dia jatuh miskin seperti aku dulu. Dia anak kesayanganku!" Tanpa sadar bulir-bulir air mata jatuh menyusuri pipi

Fajar menarik napas panjang dan mamandang ke arah Fathiya yang kini berurai air mata dalam diam.

"Jika ada yang harus disalahkan, mungkin aku orangnya."

Pria paruh baya itu melepas cengkraman dan mengempaskan diri ke sofa tunggu. Wajahnya menunduk dan bersembunyi di kedua tangannya yang disanggakan ke lutut.

"Mas?" Tanti ragu-ragu mendekat dan berlutut di depan suaminya. Panggilan yang sudah lama tak dipakai sejak mereka memiliki Fathiya. Dia berusaha memandang wajah Fajar yang tertutup. Tanti merasa sangat bersalah. Kemarahan Fajar membuatnya takut kehilangan. Pria itu begitu baik dan mencintainya setulus hati. Dia tak bisa membayangkan bisa hidup tanpa Fajar di sisinya.

Fajar menurunkan tangannya. Kini ia menangkup wajah istrinya penuh kasih. "Aku terlalu memanjakanmu. Mengingat masa kecilmu yang penuh derita membuatku tak tega memarahimu. Namun, aku salah. Tugasku tak hanya membahagiakanmu, tapi menuntunmu ke jalan yang benar."

Pria itu merasakan kehangatan mengalir menyisip di sela-sela jarinya. Tanti menangis tanpa suara.

"Maaf, Mas nggak bisa membimbing kamu."

Tanti memejamkan mata merasakan kehangatan yang merengkuhnya. Perlahan ia terkenang awal-awal pernikahan mereka, bagaimana Fajar menerimanya yang bukan siapa-siapa, menerima setulus hati meski ia bukan dari golongan berada. Namun, mereka bahagia bersama. Bahkan ketika perutnya tak juga mengandung karena produksi sel telurnya tidak normal, Fajar tak peduli. Ia terus berada di sisinya. Menemaninya yang terus berusaha mendapatkan anak demi membuat keluarga mereka lengkap.

Putrinya pun mewarisi sikap itu.

Namun, kini justru dirinya dibutakan harta. Mengukur kebahagian Fathiya hanya dari emas permata. Ia lupa bagaimana dulu ia bisa tertawa hanya karena Fajar melontarkan lelucon sembari makan singkong rebus di tengah sawah.

"Maaf ... maaf ...."

Fajar membalasnya dengan dekapan hangat yang menentramkan.

Setelah beberapa waktu, Fajar melepaskan dekapannya pada Tanti. "Kamu terlalu mengatur anak kita, Sayang," bisik Fajar sambil membelai jilbab Tanti perlahan. "Dia tumbuh menjadi wanita penakut yang tidak pernah berani mengatakan apa yang ada di hatinya."

Fajar menoleh ke arah Fathiya yang masih membisu. "Aku dengar dari Lintang. Fathiya hampir menolak operasi karena dia ingin mati. Anak kita satu-satunya ingin mati, Ma!" Bibir Fajar bergetar. "Namun, Davina berhasil membujuknya dan kakinya bisa diselamatkan. Jika tidak, dia mungkin akan seperti Rahmi, cacat permanen!"

Mulut Tanti terbuka lebar.

"Gara-gara semua peristiwa ini, Fathiya bengong di jalan hingga ditabrak saat menyebrang. Ini salah kita, Ma! Salah kita sebagai orang tua yang tidak membiarkannya bahagia. Tak membiarkan ia memilih jalan yang sebenarnya tidak salah, tapi tidak sesuai apa yang kita mau."

Isak tangis Tanti semakin membesar. Apa karena mulutnya yang jahat selalu menghina cacatnya Rahmi, Allah memberikan hukuman melihat putri kesayangannya juga hampir cacat seperti Rahmi?

"Kamu nggak ingin melihat Fathiya dibungkus kafan karena bunuh diri, kan?"

Tanti tak sanggup berkata apa-apa dan hanya menggeleng berulang kali.

"Karena itu, Mas mohon.... Jangan paksa Fathiya lagi. Biarkan dia bahagia dengan caranya sendiri. Apa kamu bisa?"

Tanti kembali menghambur ke pelukan suaminya. Tak pernah dibayangkan di kepala jika sampai Fathiya meninggal. Pantas tadi Fajar begitu serius berbincang dengan Lintang, sementara dia mengobrol santai dengan Davina. Sahabat karib anaknya itu tidak berani bercerita apa pun. Sebegitu menakutkan kesan dirinya di mata orang lain. Sangat berbeda dengan Rahmi yang selalu tersenyum bahkan ketika ditindas sekalipun.

Ah, Lintang. Pria itu sama sekali tidak terlihat marah padanya. Ekspresi wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Tadinya, Tanti membenci ekspresi yang dirasa hanya pura-pura itu. Tapi, kali ini, dia sadar kalau Lintang benar-benar tulus mencintai Fathiya. Lintang rela melepaskan Fathiya agar bisa berbahagia dengan Raka. Bentuk pengikhlasan tertinggi sosok yang mencinta.

"Sekarang kamu punya tugas lain." Matanya melirik ke arah Fathiya.

Tanti tanggap. Dihapusnya air mata yang masih tersisa. Wanita itu bergerak mendekati Fathiya yang kini tersenyum canggung.

"Maaf, Mama udah begitu egois. Mama cuma mikirin cara membuatmu bahagia, tanpa memikirkan perasaanmu sama sekali." Tanti menggigit bibir bawahnya cemas melihat Fathiya tak juga bereaksi. "Apa kamu mau maafin Mama?"

Fathiya membuka tangannya lebar-lebar menanti Tanti memeluknya. Mereka pun berpelukan erat-erat. Fathiya tak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang terus membanjiri wajah. Tanti hanya ingin membahagiakannya. Ingin yang terbaik untuknya. Hanya saja, Tanti tak pernah mau menanyakan apa arti kebahagiaan baginya.

Kini, Fathiya bisa bernapas lega. Satu masalah sudah terselesaikan. Ia bersyukur Allah akhirnya mengabulkan semua doa-doa panjangnya. Dirinya bukanlah manusia sempurna. Ia hanya wanita yang berusaha keras menjadi istri yang baik dan setia.

"Ma, masih ada tempat yang harus kita tuju besok setelah dokter spesialis visit." Fajar bangkit dari kursi dan tersenyum lembut.

"Ke mana?"

"Ke kedai Bu Rahmi dan Lintang. Kita harus minta maaf pada mereka."


28 July 24

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

28 July 24

Apakah bakal dimaafin?

Bab ini pendek, ya?? Wakakak Bab depan end. Perlu bonus chapter ga?

END Fathiya x Labuhan Hati Antara Kau dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang