Menjadi seorang anak perempuan di sebuah keluarga yang begitu kaya membuat Syifa kehilangan kebebasannya untuk memilih seorang pendamping. Dimana dengan keputusan secara sepihak sang Papa menjodohkannya dengan seorang anak dari rekan kerjanya, seorang pria yang tak lain teman masa kecilnya, Nataya Abimana.
Syifa tidak bisa menolak atau bahkan menggagalkan perjodohan yang diinginkan kedua keluarga itu, karena bagi Syifa titah orang tua adalah perintah baginya. Dimana tak berselang lama dari pertemuan dua keluarga itu di dapatkan keputusan jika pernikahan keduanya akan diselenggarakan dua bulan ke depan.
Dan selama dua bulan itu Syifa hanya bisa menurut dan menurut tanpa bisa mengeluh, meskipun selama masa itu Syifa sudah tahu kebusukan apa yang dilakukan seorang Nataya Abimana. Pria yang ia kenal baik itu nyatanya berubah bagai monster, dimana Syifa melihat dengan kedua matanya sendiri, dimana untuk kesekian kalinya Syifa harus merasakan ini.
Berawal dari undangan ulang tahun dari salah seorang teman, Syifa datang ke sebuah club malam dimana disana Syifa hanya datang untuk mengucapkan selama ulang tahun temannya. Namun netranya menangkap bayangan seorang pria yang ia kenali, pria yang dijodohkan kepadanya, pria yang tengah menari dengan seorang perempuan dimana dari posisi Syifa dirinya tidak tahu siapa perempuan itu.
"Maaf ya Syifa, tapi gue sudah lihat calon suami lo. Dan ini bukan kali pertama dia disini." Bisik Anton, salah seorang teman Syifa. Syifa menatap di kegelapan itu dengan tatapan datar. Entahlah, apa yang Syifa rasakan sudah sejak lama mati.
"Gue balik dulu ya Ton." Syifa keluar dari club malam itu dan berjalan menuju mobilnya. Di sepanjang berjalanan Syifa hanya bisa menghela napas panjang tanpa bisa mengungkapkan apa yang ada di isi kepalanya.
Syifa akui jika Nataya adalah teman masa kecilnya, pria manis dan baik hati itu adalah sosok yang ramah. Namun jelas semua itu bukan untuk Syifa.
"Ma... Bisa gak pernikahan Syifa dibatalkan." Pinta Syifa saat dua orang perempuan itu tengah sibuk berbelanja. "Kenapa?"
"Aku gak mau aja menikah dengan Nataya Ma."
"Alasannya apa?" Perempuan paruh baya itu berhenti melihat-lihat pakaian dan menoleh ke arah putrinya. Syifa menghela napas panjang, menatap ke arah sang Mama. "Memang kalau aku bilang Mama akan percaya? Pasti tidak, kan?"
"Iya, tapi apa dulu."
Syifa terdiam sejenak sebelum mengatakan apa yang mengganjal di hatinya. "Dia sudah punya pacar Ma, dan sepertinya hubungan mereka sudah lama. Aku tidak mau merusak hubungan mereka atau menjadi istri yang menyedihkan kelak." Bayangan rumah tangga yang begitu dingin jelas membayangi pikiran Syifa.
"Tapi kemarin saat kami tanya dia bilang tidak punya pacar."
"Itu di depan Mama, sedangkan di belakang Mama dia berani kencan dengan perempuan lain. Aku yang melihatnya Ma." Perempuan paruh baya itu tersenyum dan mengusap pundak putrinya. "Yang sabar, Mama gak bisa memutuskan sepihak karena semua ini keputusan Papa dan Om Brata." Kalimat yang menjadi momok itu akhirnya terjadi dimana sang Papa menolak alasan Syifa, menganggap Syifa mencari alasan. Hingga diputuskan pernikahan diajukan, karena menurut kedua keluarganya agar tidak malu jika ada rumor gagal menikah. Tapi jelas ini membuat hidup Syifa semakin hancur.
Statusnya yang sudah resmi menjadi istri membuat dirinya harus melihat semua yang terjadi, dan berusaha untuk kuat. Satu hari setelah menikah Syifa yang diajak honeymoon nyatanya harus menelan pil pahit karena nyatanya perempuan yang menjadi kekasih suaminya juga ikut bersama keduanya.
Belum lagi setelah keduanya pulang di mana di dalam rumah yang ia tinggali sekarang ada kamar tidur kosong yang diperuntukan oleh Nataya untuk kekasihnya. Semua itu Syifa tahu dari asisten rumah tangga yang bekerja disana.
"Ya sabar ya Bu, tapi sungguh Bapak orangnya baik." Kalimat penenang yang membuat Syifa hanya bisa terdiam.
Sebagai istri dirinya memiliki hak, tapi nyatanya hak itu tidak membuat Nataya menatap ke arahnya.
"Sebenarnya apa mau kamu? Aku sudah bersabar selama ini." Syifa sudah bersabar akan tingkah suaminya, dan tepat empat bulan setelah menikah Syifa ingin mengajak pria itu berbicara.
Pria yang tengah mengganti baju itu menoleh, menatap wajah Syifa. "Maksud kamu apa? Suami lelah pulang kerja kamu tanya begitu."
"Jangan pura-pura bodoh kamu Nata, aku tahu apa yang kamu lakukan di luaran sana."
Nataya menoleh dan menatap ke arah istrinya, bibirnya tersungging membentuk senyuman. "Terus apa yang kamu mau? Menganggap dirimu istri atau apa?"
"Aku istri kamu Nata, tapi sedikitpun kamu tidak pernah menghormatiku."
"Aku tahu kamu istri...yang tidak pernah kuinginkan." Tekannya sebelum melanjutkan ucapannya. "Istri boneka yang diberikan oleh Papa agar aku bisa melepaskan Niken. Tapi apa yang aku lakukan? Aku tetap bersama Niken." Cemooh Nataya. Sebagai seorang anak dirinya ingin menjalani pernikahan dengan orang yang ia cinta tapi sayang seorang Brata tidak mengizinkan itu.
Ya, perempuan itu adalah Niken pacar pertama seorang Nataya Abimana. Syifa terdiam dengan mengepalkan kedua tangannya. "Tetaplah menjadi istri bodohku hingga kamu sadar bahwa di dunia ini penuh dengan kekejaman Tuan putri." Bisik Nataya tepat di depan daun telinga Syifa.
Setelah selesai mengatakan itu Nataya keluar dari kamar tidurnya dan masuk ke dalam kamar tidur milik Niken yang ada di rumah itu. Sedangkan Syifa terduduk di atas ranjang dengan perasaan yang campur aduk, ingin rasanya Syifa pergi dari hubungan ini. Tapi ia juga sadar ada nama baik Papanya yang akan mengikuti langkahnya jika dirinya gagal.
Hingga setahun menikah Syifa memilih abai akan apa yang dilakukan Nataya di luar rumah. Karena prinsip Syifa jika Nataya pulang maka dia masih suaminya tapi jika dia tidak pulang bukan menjadi urusannya juga. Sebisa mungkin juga Syifa menjadi istri yang baik di dalam rumah maupun di luar rumah.
"Kamu bodoh Syifa, kamu bodoh." Maki Syifa untuk kesekian kali saat dirinya menatap wajahnya yang semakin hari semakin layu, ya, kecantikan yang dulu menghiasi wajahnya berubah entah dimana. Dimana Syifa merasa hubungan ini sebagai penjara akan kebebasannya.
"Bertahan Syifa, entah sampai kapan." Hanya kalimat itu yang bisa Syifa setiap hari lakukan karena bagaimanapun apa yang akan ia lakukan ke depannya semua itu akan ada hubungannya dengan nama baik Papanya.
Kesabaran Syifa yang sudah teruji itu kembali diuji oleh Nataya saat suaminya mengajak Niken untuk tinggal satu rumah dengannya. Membuat mau tidak mau Syifa harus melihatnya interaksi keduanya yang membuat semakin hari kesehatan Syifa terganggu.
"Bu, saya telponkan orang tua Ibu ya?" Syifa tengah terbaring di atas ranjang saat asisten rumah tangganya mendekat. "Jangan Mbok, tapi jika saya pingsan lagi tolong bawa saya ke rumah sakit terdekat. Rasanya saya sudah tidak kuat Mbok."
"Yang sabar Bu." Si Mbok menatap prihatin ke arah majikannya hingga beberapa jam berlalu dimana kondisi Syifa semakin menurun membuat Mbok memutuskan untuk merujuk Syifa ke rumah sakit terdekat. Dimana di malam itu tidak ada satupun orang yang tahu selain Mbok berserta supir.
"Kasihan ya Bu Syifa, dinikahi tapi endingnya disakiti. Kalau seperti ini lebih baik gak usah menikah." Ucap Pak Kamto sopir Nayata. "Kalau saya sebagai ayahnya sudah sejak dulu saya ajak pulang anak saya, saya gak ridho anak saya disakiti."
Mbok menatap Pak Kamto. "Orang kaya beda sama kita Pak, banyak pertimbangan."
"Tapi kalau kaya gini yang ada kita yang rugi Mbok, anak sakit dan gak bahagia."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story II (Karyakarsa)
NouvellesSemua cerita lengkapnya bisa di baca di Karyakarsa