[7 : draco malfoy pov]

449 46 3
                                    

Sedari tadi aku berusaha untuk mengalihkan kegelisahanku dengan membaca buku, berusaha untuk menenangkan diriku yang sepertinya mulai panik. Entalah, aku tidak pernah sepanik ini. Tidak setelah kedua orang tuaku menyuruhku untuk membenarkan vanishing cabinet, dan membawa kawanan death eaters masuk ke dalam sekolah ini.

Bertanya-tanya apa yang membuatku menjadi panik seperti ini? Sebenarnya aku benci untuk mengakui ini. Aku mulai mengkhwatirkan gadis bodoh itu. Sedari tadi aku menunggu kehadirannya, yang seharusnya mengikuti kelas tambahan bersamaku.

Haruskah aku mencarinya?

Haruskah aku menghampiri dan menjemputnya sendiri di kamarnya?

Tidak.

Aku tidak ingin membuat diriku terlihat bodoh dan terlihat sangat bersemangat untuk bertemu dengannya.

Aku menghela nafasku dengan kasar, mencoba kembali untuk menunggu kehadiran gadis bodoh itu. Demi jenggot Merlin, jika gadis bodoh itu tidak menampakkan batang hidungnya dalam 10 menit, aku akan meninggalkan perpustakaan ini.

Kedua mataku secara tidak sengaja teralihkan menatap tanda itu. Tanda yang terpampang dengan jelas pada lengan kiriku. Tanda yang membuatku sangat muak jika melihatnya, namun belakangan ini aku selalu mendapati diriku tersenyum memandangi tanda itu. Aku membenci diriku setelah membayangkan gambar bintang yang sebelumnya tergambar pada lenganku. Aku membenci diriku setelah menyadari bagaimana bintang-bintang itu selalu membuatku berdebar. Bintang yang dengan beraninya gadis itu gambar menggunakan spidol berwarna emasnya diatas lenganku.

Tidak hanya itu.

Kedua matanya yang berwarna cokelat gelap, namun tampak begitu memukau ketika sinar matahari secara tidak sengaja menyinari kedua mata itu. Lagi, aku membenci diriku secara tidak sengaja memandanginya dari kejauhan. Catat, secara tidak sengaja.

Lalu rambut hitamnya yang selalu berhasil membuatku bertaruh pada diriku sendiri betapa lembutnya surai itu. Ditambah lagi bagaimana cara gadis itu tersenyum.

Kalian tidak tahu seberapa keras usahaku untuk tidak jatuh ke dalam senyumannya.

Kalian tidak tahu seberapa keras usahaku untuk mempertahankan wajahku dan menatapnya tanpa ekspresi, sementara jantungku selalu bekerja tidak normal karena itu.

Ini benar-benar menyebalkan. Dasar gadis bodoh.

Baiklah. Kurasa sudah 10 menit berlalu, membuatku dengan cepat bangkit dari dudukku seraya membereskan buku bacaanku.

Here's the deal, Draco Malfoy, setelah kau meninggalkan perpustakaan ini, kau harus segera kembali ke kamarmu.

Hingga pada akhirnya aku meninggalkan perpustakaan ini, dan melangkahkan kakiku menuju asramaku. Sekali lagi ku tekankan, segera kembali ke kamarmu.

Langkahku berhenti ketika kedua kakiku berhasil membawaku ke ruang rekreasi asrama Slytherin, menampakkan beberapa murid yang tengah menikmati malam mereka kini menatapku dengan aneh. Itu benar. Mereka menatapku aneh ketika kedua kakiku mulai melangkah untuk menelusuri koridor kamar murid perempuan di asrama ini.

Aku benar-benar mengutuk kedua kakiku karena membawaku berdiri di depan sebuah pintu, yang aku tahu adalah pintu kamar (y/n), gadis bodoh itu. Sebelah tanganku kemudian terulur untuk mengetuk pintu itu. Namun tidak ada jawaban. Aku memutuskan untuk membuka pintu itu dengan perlahan, berusaha melihat kehadiran gadis itu. Namun kamar itu kosong.

Kegelisahan itu kembali menghampiri diriku.

Ayolah, Draco Malfoy. Untuk apa kau mengkhwatirkan gadis bodoh itu?

Namun pikiran dan kegelisahanku tidak dapat bekerja sama tentu saja, membuatku segera meninggalkan asrama ini, berusaha untuk mencari keberadaan gadis itu.

Aula utama, koridor sekolah, ruang kelas, toilet, aku tidak dapat menemukannya. Jantungku mulai berdetak tidak karuan, sementara kegelisahan itu semakin menjadi.

Hingga pada akhirnya aku mendengar suara tangisan dari dalam ruangan trofi yang nyaris terlewatkan olehku.

Dan disitulah gadis itu berada, dengan kedua tangan dan kakinya yang terikat, membuatnya tampak tidak berdaya diatas dinginnya ubin lantai ruangan ini.

Kedua mata sembabnya menatapku dengan tidak percaya, namun di detik berikutnya gadis itu kembali terisak.

"Dray" ucapnya pelan.

Aku mendekati gadis itu seraya mengeluarkan tongkat sihirku dan merapalkan sebuah mantra untuk membebaskannya. Tubuhnya kini tampak bergetar begitu ia berusaha untuk mengambil posisi duduk, membuatku segera membawanya ke dalam dekapanku.

"Apa yang terjadi?"

"The- Theo. Ayah Theo. Ayah kandungku" tangisan gadis itu semakin menjadi. Aku mengelus rambutnya dengan lembut seraya mengecup pucuk kepalanya, berusaha untuk menenangkannya.

"Maafkan aku, princess" timpalku, membuatnya kini terdiam dan menatap kedua mataku dengan tajam, seakan mencari sebuah kebenaran di dalamnya.

"Jadi kau sudah mengetahuinya?"

Aku terdiam. Itu benar. Aku mengetahui semuanya. Mengetahui bagaimana rencana jahat Theodore Nott kepada gadis yang rupanya adalah adik tirinya sendiri. Aku hanya mendengarkan dan tidak turut andil dalam rencana konyol seperti itu. Namun aku juga tidak memiliki hak untuk membeberkan semua itu.

"Ini semua diluar kendaliku, princess. Aku tidak memiliki hak untuk membeberkan itu kepadamu" jelasku.

"Berhenti memanggilku seperti itu!"

"Aku benar-benar muak dengan semua ini. Aku selalu berpikir kau berbeda. Aku selalu berpikir kau berada dipihakku" (y/n) mengulurkan tangannya untuk memukul dadaku dengan menggebu-gebu.

"Aku memang dipihakmu. Maafkan aku" aku kembali membawa gadis itu ke dalam pelukanku, sementara dirinya terus berusaha untuk memberontak.

Aku tidak berhenti untuk mengucapkan kata maaf kepadanya, berharap itu akan menenangkannya. Hingga pada akhirnya kedua mataku menatap sebuah bekas luka pada lehernya. Sebuah bekas luka yang bertuliskan "Slut!!". Aku merasakan rahangku mengeras, membuatku mengerang tertahan seraya membawa tanganku untuk menyentuh luka itu.

"Dia melakukan ini kepadamu?" tanyaku.

Gadis itu terdiam, masih terisak, tidak berniat untuk memberikan respon.

"Setidaknya kita memiliki kesamaan, princess" sebelah tanganku meraih dagunya, membawanya untuk menatap pantulan diri kami pada lemari kaca yang berdiri kokoh disebelah kami. Aku menunjuk bekas luka pada leher gadis itu, sembari memamerkan tanda pada lengan kiriku.

Aku tersenyum kecil ketika gadis itu terdiam menatap pantulan diri kami. Setidaknya ini membuatnya berhenti terisak.

"See? You're not alone, princess" dan pada akhirnya kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman yang selalu berhasil membuat jantungku menggila, bahkan sejak pertemuan pertama kami.

"Kenapa kau melakukan ini, Draco?"

"Dray. Kau sudah berjanji untuk terus memanggilku seperti itu" potongku, dan itu berhasil membuatnya terkekeh.

"Baiklah. Dray"

"Entalah. Karena aku mau" jawabku.

"Kau merasa iba, bukan begitu?" tanyanya. Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Lalu apa? Bukankah kau salah satu dari mereka? Bukankah harusnya kau juga membenciku?"

Aku mendengus "Kau ingin aku membencimu?" aku kembali tersenyum seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga gadis itu.

"Bukankah aku sudah menjelaskan hal ini, princess? Aku tidak pernah membencimu" jelasku.

"Quite the opposite, actually"

***

Jantung masih aman kan? Karena jujur jantung aku udah gak aman nulis chapter ini😩🙏🏻

begin again | draco malfoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang