Mataku jelalatan mencari ibu Arini yang tadi masih berada disampingku, bahkan aku dari tadi masih mengoceh mengajaknya ngobrol. Memang sambil mengoceh mataku terus fokus pada deretan gamis dihadapanku. Tiga minggu lagi teman baikku akan pulang ketanah air setelah hampir dua tahun berkutat dengan segala jenis mikroba demi meraih gelar doctornya di Gotingen, Jerman.
Untuk alasan itulah aju harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menyambutnya.aku harus tampak seelegan mungkin dihadapannya. Aku ingin menunjukan padanya bahwa teman bodohnya ini telah berhasil menjadi dosen. Walau dulu aku sempat ragu untuk melanjutkan studyku dan memilih bekerja di laboratorium perusahaan swasta. Namun E-mail darinya tentang segala aktifitas kampusnya membuat aku iri, membakar semangatku.Ibu Arini juga dosen di tempatku mengajar, bahkan beliau adalah Pembimbing Akademikku. Dia sepakat menemani ku belanja, tapi malah kini dia entah dimana hilang tanpa jejak (aih...lebaynya gue kumat). Sekilas aku melihat ibu Arini diseberang sana, mungkin dia memilih baju untuk anaknya. Aku menyusul kesana, tapi malah wanita paruh baya itu tak terlihat lagi.
"Mama..." gadis kecil itu mengelayut di kakiku.
Usianya sekitar tiga atau empat tahun. Aku terperanjat dan segera mengelus rambutnya yang lurus dan halus. Dia makin meraihku dan memelukku. Dia menciumi lengkungan leherku yang masih tertutup jilbab, ada kerinduan ditiap tarikan nafasnya."Siapa gadis kecil ini, mengapa aku merasa jatuh cinta padanya" aku membalas pelukan itu. Dia menangis, aku ikut menangis. Bagaikan sepasang kekasih yang telah lama tak bertemu.
"Nilah..." anak laki-laki yang usianya sekitar lima atau enam tahun menarik lengan gadis itu.
"Maafin adik saya ya tante"dia tersenyum ramah padaku.
Aku meraih wajah keduanya, mengelusnta sambil memberikan senyuman termanis yang aku bisa. Tapi mata mereka berdua seolah menyihirku, mata itu bagai emas, teduh san menyejukkan aku nyaris tenggelam pada masa lalu. Mata itu mirip dengan ____"Nizam, Nailah" suara berat itu menarikku dari lamunan.
Aku mendongak dan perlahan berdiri. Tuhan....inilah pemilik asli mata itu. Mata yang kian menyihirku. Tubuhku berguncang hebat seperti ada pasukan drumband yang bermain dijantungku. Aku merasa sempoyongan, seluruh romaku berdiri. Aku menunduk, setetes air jatuh dari mataku.
"Ini mimpi" gumam ku."Almira..." suara itu, suara itu memanggil namaku.
Kutoleh lagi kali ini aku mengernyitkan dahi memastikan bahwa ini bukan mimpi. Pria itu meraih gadis kecil lalu memeluknya.
"Papa" serunya dan aku lebih terperanjat lagi.
Ah, ini mimpi, Almira ayo bangun. Aku mengerjap-ngerjap berharap ini betul-betul mimpi, ini ilusi.
"Mira" kali ini suara ibu Arini yang ku dengar, tangannya bahkan meraihku.
Tapi sosok itu tak kunjung menghilang, malah kini menyunggingkan senyum, tangannya bersedekap didada dengan masih menggendong gadis kecil itu.
"Almira, kamu gak papa kan???"
Ibu Arini terdengar khawatir.Aku menunduk, anak laki-laki yang berdiri dibawahku menatapku bingung, tangannya memegang erat ujung celana pria yang mereka panggil papa. Aku mundur beberapa langkah lalu berjalan menjauh. Ibu Arini mengejarku dan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan tapi lidahku masih kelu untuk menjawabnya.
"Ibu maaf, Mira mau sendiri dulu"
aku segera masuk taksi yang mangkal di depan pintu mall.
"Assalamualaikum.. "Aku bahkan tak mendengar Ibu Arini menjawab salamku. Aku tak kuasa lagi menahan air mata yang dari tadi memaksa untuk tumpah. Mata itu oh mata itu aku membencinya, ah tidak aku merindukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam dalam Do'a
Spiritualusia yang matang, dengan tingkat pendidikan yang tinggi justru kadang membuat seorang perempuan sulit mencari jodoh. usiaku yang nyaris kepala tiga, karirku yang sedang menanjak, dan orang tuaku yang terus menanyakan tentang pernikahanku. sementara...