Tek tek tek
Suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya, persis seperti saat tengah malam ketika penghuni rumah sudah terlelap. Semua mata melihat kearahku, aku terpaku. hatiku tengah sibuk memilah kata-kata yang pantas untuk ku ucapkan.
"tidak...." kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku tanpa control.
Mama melepas tangannya dari bahuku, adira menyenggol kakiku.
Papa tampak gelisah, duduknya jadi gusar.
"Mira?" Bilal lirih menyebut namaku. Mataku kembali bertemu pandang dengan Fatih, masih seperti tadi, tak ada reaksi yang berarti apa lagi berlebihan seperti yang lain.
"Mira, ini keputusanmu, tapi bapak ingin tau, apa gerangan yang membuat kamu menolak pinangan laki-laki sebaik Fatih. Bapak rasa dia sangat pantas mendapat penjelasanmu" pak Zainuri angkat bicara.
Aku membuka bibirku siap untuk bicara, tapi air mataku lebih dulu luruh kepipiku. Aku memejamkan mataku, menyedihkan benar keadaanku.
"aku tau aku perawan tua" kata-kata itu menghujam jantungku sendiri.
"oh tidak Mira, siapa yang berani berkata demikian" Ibu Mirna, istri pak zainuri ikut bicara sekarang.
"betapapun aku rindu akan sebuah pernikahan, aku tak akan mengorbankan sahabat-sahabatku." Aku menelan ludah, kerongkonganku terasa kering dan tercekat.
"Mira..."Sarah membujuk dengan suara yang serak. Mungkin dia ikut menangis, hatinya sangat lembut.
"dan kamu Fatih, aku tidak butuh kebohonganmu, aku tidak butuh pengorbananmu. Kamu tau, suatu saat kamu akan menyesali keputusanmu untuk membohongi hatimu sendiri. Heh, kamu pikir aku sahabat seperti apa yang rela bahagia diatas penderitaan kawan-kawanku sendiri."aku menghapus air mataku yang menggenangi pipiku yang bulat.
Fatih makin tajam menatapku, rahangnya tampak mengencang. Aku menunduk, tak berani menatapnya lagi. Ada aura lain diwajah dan tubuh Fatih, aura yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"kamu bicara apa Mir" Sarah kembali bersuara. Kali ini dia berjongkok dihadapanku, meraih tanganku yang terkepal diatas pahaku.
"Hanna..." aku menatap lekat pada Sarah. Bibir sarah kini membulat penuh.
"kamu fikir aku tidak tau bagaimana perasaan Hanna pada Fatih, dan bagaimana perasaan Fatih pada Hanna. Aku tidak buta Sarah, aku punya hati. Aku tidak akan egois dengan merebut raga Fatih padahal hatinya untuk orang lain."
"Hati?" suara itu lantang sekali, aku mendongak, Sarah berdiri dan kembali kekursinya. Mata Fatih menyala menatapku.
"sejak kapan kamu menjadi Tuhan yang bisa melihat isi hati manusia Mira?"
DEG...
Kata-kata itu seperti boomerang yang kemarin kulempar pada Kak Rina dan kini kembali padaku melalui bibir Fatih. Menghantam tepat dikepalaku, aku pening dan hampir rubuh mendengarnya. Aku membuka mulutku, tapi aku tak tau apa yang harus dan akan aku ucapkan.
"apa Hanna sendiri yang mengatakannya?"
"aku melihat bagaimana kalian saling memandang" aku menemukan kata-kata-kata itu, pelan dan ragu-ragu kuucapkan. Fatih sedikit menakutkan saat ini.
Fatih terkekeh, dia menggeleng-geleng begitupun Bilal.
"Hanna bahkan mengatakan sendiri bahwa malam ini dia sedang berdo'a untuk kesuksesan khitbah ini Mir" enteng saja Bilal mengatakannya.
"uh,,,"aku jadi makin bingung.
"Hanna tau? Bagaimana mungkin, oh tidak, dia pasti sedang menangis sekarang"
![](https://img.wattpad.com/cover/44267226-288-k574670.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam dalam Do'a
Spiritualusia yang matang, dengan tingkat pendidikan yang tinggi justru kadang membuat seorang perempuan sulit mencari jodoh. usiaku yang nyaris kepala tiga, karirku yang sedang menanjak, dan orang tuaku yang terus menanyakan tentang pernikahanku. sementara...