Uh...lama nya lamanya tak sua dengan reader...
Maaf yah, saye cube tuk konfirm...pertame laptop ai minta di inul, kedue wattpad ai error sehingge tak bise nak update...
I rindu U reader,,
Adekah yg rindu ai...eh ralat rindu Mira????
Happy reading guys....***
Sore itu langit benar-benar gelap, terasa benar betapa awan sedang menanggung beban yang sangat berat. Seperti aku yang menahan air mataku agar tak tumpah. Semua kenangan tentang hubunganku yang singkat bersama Fatih melintas-lintas dibenakku. Indah...namun semua itu adalah luka yang diselimuti kepalsuan.
Setelah menerima pesan singkat dari Fatih siang tadi, aku jadi tak karuan rasanya. Sesuatu yang panas, sekali lagi panas bukan hangat menulusup dadaku. Satu-satunya orang yang bisa dan kupercaya untuk dapat diajak bicara adalah Adira, kakakku. Kami membuat janji untuk bertemu di sebuah café yang letaknya tak jauh dari hotel tempatku memginap. Aku hanya perlu menyiapkan hatiku untuk disemprotnya namun tak perlu lagi ragu untuk menumpahkan segala kegelisahan hatiku.
Menurut Dira, sejak tau aku 'kabur' dari pengawasan fatih, mama tak berhenti menangis. Bahkan Papa sempat berniat menghubungi polisi untuk mencariku. Tak berlebihan memang, aku lah yang berlebihan menanggapi persoalan cintaku.
Dira muncul seorang diri seperti yang dijanjikannya. Langkahnya lebar-lebar seperti tak sabar untuk segera sampai ditempatku duduk.
"Assalamu'alaikum Mira..." kak Dira langsung memelukku. Lalu memeriksai seluruh tubuhku dengan tatapannya. Matanya memutari tubuhku seperti mengabsen anggota tubuhku satu persatu.
"Walaikumsalam kak..."
"kamu kenapa sih dek, satu rumah, bahkan teman-teman kamu jadi heboh kamu buat" dia mencubit pipiku.
Aku diam saja, mataku kualihkan keluar jendela, menatap langit yang mulai tak kuasa menahan beban yang makin berat. Gerimis turun pelan namun pasti, membelai bumi dengan benturan yang lembut. Sementara itu Dira sibuk memesan makan dan minuman untuknya dan untukku sekaligus.
"ada apasih sebenarnya Mira" Dira makin intens menatapku.
Aku justru bingung harus bagaimana, tadinya aku yakin dapat mengatakan segalanya kepada Dira, namun kini aku merasa seperti ada bongkahan besar yang menahan tenggorokanku dan menutup bibirku.
Pelayan datang membawakan pesanan, aku jadi memiliki alibi untuk menenangkan pikiran dan hatiku sebelum bicara pada Adira. Merangkai lagi kata-katanya sebelum mengatakannya pada wanita jangkung dihadapanku ini.
"kalau mau bicara, katakan semuanya. Tapi kalau tidak, simpan itu selamanya" kata-kata itu terdengar seperti ancaman ditelingaku. Aku sampai bergidik ngeri mendengarnya.
"makasih ya mbak" Adira acuh saja dan malah mengabaikanku. Wajahnya tersenyum manis pada pelayan tadi.
"jadi, kita disini mau makan saja atau apa?" kali ini terulur padaku, mengarahkan garpu yang telah menusuk irisan daging. Aku menepisnya, jadilah garpu itu berbalik dan masuk kemulutnya.
"hemhh... ini enak loh Mir" kulirik lagi wanita berjilbab kuning itu, mulutnya penuh berisi makanan.
"aku tidak akan memaksamu bicara, sebaliknya, aku justru ingin menikmati makanan-makanan ini" dia kembali memasukan irisan besar daging kedalam mulutnya.
"ah,,,kakak memang tidak peduli" ketusku.
Dira meletakan pisau dan garpu yang dipegangnya, tangannya dilipat diatas meja.
"baiklah...ayo katakana" tantangnya.
Aku kembali mengalihkan pandanganku keluar, hujanmulai deras. Namun aku masih tak tau harus bicara apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam dalam Do'a
Spiritualusia yang matang, dengan tingkat pendidikan yang tinggi justru kadang membuat seorang perempuan sulit mencari jodoh. usiaku yang nyaris kepala tiga, karirku yang sedang menanjak, dan orang tuaku yang terus menanyakan tentang pernikahanku. sementara...