Bulan dan madu...sebuah kata yang bila dipadukan menjadi dua suku kata yang menggambarkan keindahan mendekati lereng-lereng surgawi. Bulan yang tinggi, dipandang dari kejauhan dengan gagah memamerkan cahayanya yang temaram keemasan serta madu yang kaya akan manfaat dan kemanisan yang luar biasa.
pernahkah ada yang terfikir bahwa bulan yang indah tersebut tidak semulus kelihatannya. Torehan-torehan permukaan merupakan luka yang berusaha ditutupi dengan cahayanya yang menumpang dari lawannya. Lalu, dimana kenikmatan madu itu, bila lidah terasa kelu saat terus-menerus mengecapnya. Aku menikmatinya, menikmati tiap detiknya yang beradu dengan goncangan dan aroma yang kadang terlalu menusuk hidungku. Masa indah tanpa kecacatan itu hanya sementara, sekejap mata dan kini telah berlalu dan menghilang. aku menikmati bulan dikala malam dan hati yang sendu, mengecap madu sedikit saja agar lidahku tak mati rasa.
Kehidupan sebenarnya dimulai dari sini, saat bulan madu tak lagi seindah kemarin.
dr. Erlinda Usman, Sp. OG.... kutatap lekat-lekat papan nama yang bertengger dimeja kayu dihadapanku. Fatih meremas jemariku yang terasa kaku dan dingin, kutatap matanya dan dia memberiku senyuman yang menghalau kegelisahanku.
"Selamat Bapak akan segera menjadi seorang ayah"
air mataku luluh seirih takbir dan Hamdallah yang terucap dari bibir suamiku.
"Bagaimana keadaannya dok" Fatih kembali fokus.
"Usia Kandungan sekitar 6 minggu, janin berkembang sehat namun melihat kondisi rahim ibu mira maka saya sarankan agar Ibu mengurangi kegiatan yang berat, banyak istirahat dan tidak lalai dengan vitamin dan susu"
aku menekankan tatapanku pada Fatih, menembus fikirannya mungkin tak bisa kulakukan, tapi ,menebak ekspresinya adalah suatu kebiasaanku.
aku dan Fatih akan menjadi orang tua, ah aku mengelus perutku yang masih rata.
disana, ditempat yang kadang terasa seperti diaduk-aduk itu tengah hidup buah cinta kami, buah dari manisnya bulan madu kami yang sebenarnya lebih tepat dibilang pulang kampung atau bagi ibuku itu adalah liburan keluarga.
tapi lihatlah, bulan madu bisa dimana saja bukan??
aku tersipu, mengingat malam yang mana yang berhasil membuat anak ini menempel didinding rahimku.
Fatih meraih tanganku, aku menoleh. tepat pada segaris senyum yang melintang diantara wajahnya yang putih.
***
Fatih sibuk dengan handphonenya sejak pagi tadi, aku sedikit kecewa dengan perlakuannya padaku. bukankah seharusnya dia melarangku membuat sarapan??
dokter bilang aku tidak boleh capek. lalu mengapa dia diam saja bahkan saat aku mengangkat pakaian kotor yang akan dijemput laundry.
aku menatapnya kesal, dia hanya mengabaikan gerutuanku dan malah asik dengan layar ponselnya.
"aku mau kerumah mama..." geramku sambil merampas ponsel yang sejak tadi lebih diperhatikannya.
"sekarang?" aku diam saja.
"kamu lebih cinta sama ponsel ketimbang aku, buat apa aku disini."
Fatih terkekeh sambil berdiri. tangannya meraih kedua lenganku lalu menatapku dengan tatapan yang...ah membuat jantungku berdebar. kutepis tangannya lalu berbalik, aku tak mau Fatih melihat wajahku memerah karena rasa cintaku yang meluap untuknya.
"Umi sedang dalam perjalanan ke Jakarta" tubuhnya kini menempel bagai cicak dibelakangku.
aroma mint semakin kuat menusuk hidungku. aku menyukai aroma itu sejak beberapa hari lalu, atau mungkin sejak aku menjadi istri lelaki pencinta ponsel ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam dalam Do'a
Spiritualusia yang matang, dengan tingkat pendidikan yang tinggi justru kadang membuat seorang perempuan sulit mencari jodoh. usiaku yang nyaris kepala tiga, karirku yang sedang menanjak, dan orang tuaku yang terus menanyakan tentang pernikahanku. sementara...