Aku tau Fatih mengamatiku diseberang sana, sedikit salah tingkah dibuatnya. Sementara Sarah dan Bilal masih bertengkar dengan menu yang akan mereka pesan, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Buku menu yang kupegang hanya kupandangi, tak ada satu huruf pun yang dapat kubaca. Pikiranku melayang menerka-nerka apa yang saat ini sedang difikirkan Fatih, mengapa dia menatapku seperti meneliti sesuatu.
"oke baiklah kalian mau pesan makanan atau diskusi?" suara lembut itu menarikku kembali pada kenyataan. Aku mengangkat wajahku dan kulihat Sarah dan Bilal menatap tajam pada fatih.
"kita pesannya tunggu Hana aja deh" Sarah menyergah. Bibirnya maju beberapa centi sambil mangguk-mangguk meminta pesetujuan Fatih.
"kamu pesan apa Almira?" ketiganya serentak menolehku. Aku terperanjat langsung membolak-balik buku menu. Aku jadi bingung harus memesan apa, aku ingin sesuatu yang mahal, paling mahal. Tak perduli rasanya cocok atau tidak dilidahku, asalkan itu mahal sudah cukup. Aku ingin Fatih bangkrut setelah pulang dari restoran ini. Salah sendiri membebaskan kami memilih tempat makan. Dia harus merasakan lagi dikerjai oleh sejawatnya, aku yakin di Eropa sana dia tidak akan menemukan teman seperti kami.
"tidak ada artis korea disana mira" Bilal kembali mengejekku.
"ck" aku memutar bola mataku bosan.
"kalian sendiri belum tau mau pesan apa, iya kan?"
Sarah langsung mengambil lagi buku menu yang tadi telah diletakkan diatas meja. Ah, aku yakin suami istri itu juga tak tau harus pesan apa. Lidah Bilal yang melayu dan lidah sarah yang Solo, makanan Eropa mana yang akan mampu mereka telan. Terlebih nama makanan ini asing semua, salah-salah mereka bisa membuang makanan yang mereka pesan. Aku terkekeh dalam hati membayangkan Bilal memakan makanan yang dagingnya setengah matang atau malah dagingnya dengan saus lemon yang asemnya nyelekit. Mereka kembali berdebat, entah bagaimana mereka dirumah, didepan umum saja mereka masih saja berdebat.
"mana ada Nasi Padang disini Bilal" aku mengeluarkan lidahku sedikit demi mengejeknya. Fatih dan sarah terkekeh mendengar ejekanku.
"Assalamu'alaikum...." Suara merdu itu milik Hana. Sahabatku yang kini menekuni dunia fotografi. Seorang Sarjana Sains yang kini kerjanya menjelajah alam Indonesia demi kepuasan batinnya.
"ini kenapa coba pilih tempat makan disini, apa iya Bilal bisa makan?" Hana ringan saja mengatakannya, seolah-olah dia tidak sedang mengolok-olok Bilal. Saat Bilal menghardiknya dia akan memasang tampang polosnya. Hana cantik sekali saat memasang wajah polos. Ah, Hana selalu cantik walaupun kini gayanya tak serapi saat kuliah dulu.
Sejak Hana datang, aku memperhatikan Fatih beberapa kali mengubah posisi duduknya. Dia beberapa kali berdehem seakan-akan kerongkongannya selalu kering. Hana pun selalu tersenyum manis saat keduanya tak sengaja bertemu pandang. Ini sudah berlangsung lama, sejak kami berada disemester akhir persahabatan kami, eh..tidak hanya antara Fatih dan Hana keduanya jadi sedikit canggung. Tak hanya aku yang menyadarinya, Sarah dan Bilal suaminya juga menyadarinya. Ada sesuatu antara Fatih dan Hana, sesuatu itu kita sebut saja cinta.
Tiap kali aku melihat gelagat mereka, luka didadaku terasa nyilu. Aku cemburu, tidak...bukan cemburu kepada Fatih. Aku tak punya perasaan lebih pada Fatih, aku hanya cemburu bila nanti Fatih memutuskan mengkhitbah Hana. Lalu Hana menerimanya, ah...tamat sudah. Kalian lihat aku dimeja ini seorang diri tanpa pasangan. Bilal dan Sarah menikah setahun lalu padahal dulu keduanya adalah saingan dalam berbagai hal. Kalau nanti dua sahabatku yang tersisa ini juga menikah....lalu bagaimana dengan aku. Apa mereka akan meninggalkan aku selamanya tanpa kawan begini.
Tubuhku beringsut mengecil, sebesar pas bunga, lalu sebesar semut dan akhirnya sebesar amuba. Kursi tiba-tiba menjauh dari kawan-kawanku. Aku melihat mereka menikah, punya anak, keluarga besar dan akhirnya mereka tua dan bahagia dengan pasangan masing-masing. Aku hanya penonton, didalam teater yang besar dan aku seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam dalam Do'a
Spiritualusia yang matang, dengan tingkat pendidikan yang tinggi justru kadang membuat seorang perempuan sulit mencari jodoh. usiaku yang nyaris kepala tiga, karirku yang sedang menanjak, dan orang tuaku yang terus menanyakan tentang pernikahanku. sementara...