Aku mengurung diri dikamar, berkali-kali mama mengetok pintu hanya kujawab sekenanya saja. Duniaku berakhir saat Mas Fandi meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Lagu-lagu sedih menggema-gema dikamarku. Mulai dari "Sedih Tak Berujung-Glenn Fredly hingga someone like you-Adele" tapi lagu yang menurutku paling menggambarkan kisahku dan menjadi yang paling sering kuputar lagu lawas "Tenda Biru- Desi Ratnasari".
Tanpa undangan dan pemutusan hubungan terlebih dahulu, Mas Fandi mencampakkanku begitu saja. MENCAMPAKAN....DICAMPAKAN kata-kata itu beputar-putar dikepalaku. Aku benar-benar hancur berantakan seperti kamarku ini. Lampu kamar kubiarkan mati disiang dan malam hari. Gorden kamarku tertutup rapat, cahaya matahari bagai pedang menghujami kamarku, bila malam cahaya bulan masuk perlahan dengan kelembutannya.
Aku bergidik ngeri tiap kali memikirkan segala kelebihan istrinya dibanding aku. Aku melempari semua barang disekitarku saat aku mengingat betapa curangnya wanita itu yang tiba-tiba merenggut semua yang susah payah kuraih. Aku merasa hina tiap kali mengingat pelecehan yang dilakukan Askar. Oh..tidak aku menikmati pelecehan yang sesaat kuanggap ciuman pertama. Kemudian aku tersadar Mas Fandi dan keluarganya benar-benar bajingan. Aku membencinya benar-benar membencinya, kini hatiku seperti dihujami jarum-jarum tumpul dengan jumlah ribuan. Pelan-pelan mengoyak otot-ototku, aku terluka, aku berdarah tapi aku tak tau dimana. Aku hanya merasa dadaku sesak seperti menahan beban yang sangat berat, ada lubang dijantungku. Aku memegang dada kiriku, aku meraung menahan sakit yang tak berwujud.
"Mas Fandi BAAJIIINGAAAAANNNN.... wanita SIALAAAAAN..." aku menghempaskan tubuhku. Aku mengutuk Mas Fandi, istrinya, Askar dan akhirnya aku mengutuk kehidupanku. Aku merasa tak ada gunanya hidup, aku memalukan. Aku tak punya harapan untuk bahagia, sedikitpun. Siang malam aku tak dapat memejamkan mata, aku merasa menjadi wanita hina yang gagal mempertahankan kesuciannya. Bibirku kini telah berkoreng karena tak henti ku sabuni dan kulap kasar dengan handuk. Aku membenci diriku, gadis bodoh yang mau saja dilecehkan oleh adik dari orang yang telah mencampakkannya.
Pantas saja Mas Fandi mencampakkanku, aku wanita murahan yang tak tau malu, ah tidak keluarga Mas fandi lah yang kurang ajar.
pikiranku memaki dan mencaci setiap hari, aku tak beranjak dari tempat tidur kecuali untuk membasuh bibirku berulang kali. Tiap kali aku bangun dari tempat tidur kepalaku terasa pening dan mual. Pandanganku kian hari kian mengabur, aku tak bisa makan dan tak bisa minum. Suara panggilan orang tua dan kak Dira, ku abaikan begitu saja.
Anakmu hina Ma, dan tak ada harga diri yang tersisa.
Bertahun tahun mengemis cinta dan kini dibuang begitu saja.
Ponselku mati karena berhari-hari tak ku carger. Tiap kali ibuku mengomeliku dan menyesalkan tindakanku, aku merasa dunia tak pernah adil padaku. Tak ada satupun yang mengerti aku, aku ingin bahagia dan aku merasa bahagia tapi ternyata semua hanyalah fatamorgana. Aku malu pada semua orang, pada mama, pada papa, pada kak Dira dan semua teman-temanku. Betapa dulu aku membanggakan Mas Fandi. Tak ada lelaki yang hidup saat ini lebih sempurna dari kekasih hatiku. Betapa dulu aku selalu mengatakan pada kawanku bahwa satu-satunya lelaki yang tak menduakan cinta hanya Mas Fandi seorang. Dia lah sang penabur benih mimpi diotak dan hatiku, membawa aku melewati dunia remaja dan merasa istimewa kini lihat yang dia lakukan, dia
Kepalaku mulai pening setelah berhari-hari menangis, tanpa makan dan minum bahkan aku tak mandi. Aku meraih botol obat penghilang rasa sakit dinakas, lalu mencari botol air minum ditas olahragaku. Aku mengambil satu pil itu, saat aku siap menelannya aku melihat lagi botol obat itu. Aku ingin mati saja agar Mas Fandi bisa hidup dalam rasa bersalah, atau paling tidak bila aku sekarat Mas Fandi akan memikirkan ulang pernikahannya. Kini aku benar-benar telah gila, aku menghela panjang, memejamkan mata memantapkan hati untuk niatku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam dalam Do'a
Spiritualusia yang matang, dengan tingkat pendidikan yang tinggi justru kadang membuat seorang perempuan sulit mencari jodoh. usiaku yang nyaris kepala tiga, karirku yang sedang menanjak, dan orang tuaku yang terus menanyakan tentang pernikahanku. sementara...